Wewenang DPR
Hampir sama dengan Presiden, sebagai salah satu pihak yang berada dalam desain checks and balances, DPR pun dibatasi dalam proses pengisian pimpinan KPK.
Pembatasan ini diatur di Pasal 30 Ayat (10)UU No 30/2002 yang menyatakan bahwa DPR wajib memilih dan menetapkan lima calon yang dibutuhkan, dalam waktu paling lambat tiga bulan sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden. Artinya, pembatasan yang diberikan UU No 30/2002 sama sekali tidak bisa dilepaskan dari pembatasan terhadap Presiden terutama dengan konsekuensi pembentukan pansel.
Namun, sekalipun sama-sama dibatasi, pembatasan terhadap DPR lebih longgar. Sebagaimana diatur Pasal 30 Ayat (10) UU No 30/2002, DPR masih diberi ruang untuk memilih dan kemudian menyisihkan setengah dari jumlah calon yang diajukan Presiden. Padahal, bila membaca konstruksi Pasal 30 Ayat (2) dan Ayat (7) Presiden bisa saja meminta kepada pansel menyampaikan lebih banyak dari jumlah yang mesti disampaikan kepada DPR.
Karena itu, dengan adanya kesempatan menyisihkan setengah dari jumlah pimpinan KPK yang akan diisi, DPR lebih beruntung dibandingkan Presiden.
Sekalipun lebih longgar, DPR dibatasi oleh frasa "wajib memilih dan menetapkan" calon di antara nama-nama yang diajukan Presiden.
Dengan adanya kata "wajib" tersebut DPR tak memiliki alasan hukum sama sekali untuk menolak memilih calon dari yang diajukan Presiden. Untuk ini, Komisi III perlu menyadari bahwa wewenang memilih pimpinan KPK berbeda dengan wewenang dalam pengisian anggota Komisi Yudisial (KY) atau pengisian hakim agung.
Secara hukum, dalam proses pengisian anggota KY dan hakim agung, Komisi III tidak memilih dari beberapa calon, tetapi hanya sebatas memberikan persetujuan terhadap calon. Untuk kedua pengisian tersebut, Komisi III dapat menolak calon yang diajukan pansel atau menolak nama calon hakim agung yang diajukan KY.
Berbeda dengan itu, dalam pengisian pimpinan KPK penolakan menjadi semacam perbuatan sangat terlarang. Bagaimanapun kondisinya, Komisi III harus tetap memilih dari semua calon yang diajukan Presiden.
Dalam hal ini, segala catatan terhadap mekanisme penentuan calon yang dilakukan pansel tak bisa dijadikan dalih menolak dan/atau mengembalikan kepada Presiden. Apalagi, mekanisme kerja dari pansel dalam menentukan calon sama sekali tak diatur UU No 30/ 2002.
Dengan tidak adanya pengaturan tersebut, strategi Pansel 2015 memilih calon berdasarkan pengelompokan wewenang KPK sama sekali tidak melanggar UU.
Merujuk pengalaman sebelumnya, Pansel 2011 melakukan upaya serupa ketika menentukan calon final yang disampaikan kepada Presiden. Perbedaannya, Pansel 2011 mengajukan nama final pada Presiden dengan membuat peringkat (ranking) calon.
Karena itu, Komisi III bisa saja keberatan dengan pola penentuan calon, tetapi dengan menggunakan alasan apa pun, sebagai kelanjutan dari proses yang dilakukan pansel, DPR tak memiliki dasar menolak calon yang diajukan Presiden.