Secara teoretis, salah satu karakter lembaga negara atau komisi negara dikatakan independen apabila proses pengisian pimpinan atau komisioner lembaga tersebut tidak hanya ditentukan oleh satu lembaga.
Dasar pemikirannya sangat sederhana, jikalau diisi oleh satu lembaga, maka sangat mungkin lembaga yang memiliki wewenangmenyeleksi potensial mereduksi status independen tersebut. Selain itu, pemikiran teoretis tidak diisi hanya satu lembaga mempunyai maksud lain, yaitu membangun mekanisme checks and balances di antara lembaga yang memiliki wewenang mengisi pimpinan lembaga negara independen tersebut.
Sekalipun ketika pembentukan UU No 30/2002 tak banyak menyinggung ihwal karakteristik sebuah komisi negara dikatakan independen, UU yang menjadi dasar pembentukan KPK telah membuat desain yang memenuhi standar teoretis ihwal pengisian pimpinan KPK.
Keterpenuhan karakter itu dituangan dengan baik dalam Pasal 30 UU No 30/ 2002, yaitu pengisian pimpinan KPK dilakukan oleh DPR dan Presiden. Tidak hanya menjadi ranah dua lembaga tersebut, pengisian juga memerlukan partisipasi masyarakat.
Meskipun merupakan wewenang DPR dan Presiden, kedua lembaga ini diberikan batasan-batasan tertentu. Presiden, misalnya, merujuk ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UU No 30/2002 tak bisa sehendak hati dalam menentukan calon yang akan diajukan ke DPR. Dalam menjalankan wewenang mengusulkan calon, Presiden dibatasi hanya membentuk pansel.
Merujuk pengalaman pembentukan pansel selama ini, Presiden tak pernah memiliki kesempatan dalam menentukan calon pimpinan KPK. Selama ini, Presiden hanya mengajukan calon yang dihasilkan pansel. Artinya, dengan model yang diatur UU No 30/2002, wewenang Presiden dalam menyeleksi calon pimpinan KPK diambil alih oleh pansel.
Sebagai pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan calon pimpinan KPK ke DPR, dalam batas penalaran yang wajar, Presiden memiliki ruang untuk menolak calon yang dihasilkan pansel. Apalagi, UU No 30/2002 tak membatasi jumlah calon yang harus disampaikan pansel kepada Presiden. Sangat mungkin, agar terhindar dari berbagai tafsir dan kecurigaan, Presiden memberikan otoritas sepenuhnya kepada pansel menentukan calon sama jumlahnya dengan yang akan disampaikan ke DPR. Dengan demikian, wewenang Presiden dalam menentukan calon menjadi hilang dan beralih kepada pansel.
Meski otoritas mengajukan calon berada di tangan Presiden, jangankan menolak, pengalaman selama ini, Presiden tidak pernah keberatan dengan calon yang disampaikan atau dihasilkan pansel.
Jangankan menolak, meminta pansel mengajukan lebih banyak dari jumlah calon yang akan diajukan ke DPR tidak pernah dilakukan. Paling tidak pengalaman dan sikap demikian mampu menekan berbagai tafsir dan kecurigaan bahwa Presiden memiliki agenda sendiri dalam pengisian pimpinan KPK.