Asas manfaat, sebagai pelaksanaan dari ibadah dan menolong memberikan yang terbaik.
Dalam kode etik kedokteran Indonesia dirumuskan dalam dua pasal, yaitu pasal kepentingan pasien menjadi ukuran utama dan dokter bekerja dengan ukuran yang tertinggi di samping pada sumpah kedokteran.
Berdasarkan asas manfaat tersebut, melakukan kebiri tentu tak ada manfaatnya sama sekali.
Dengan demikian, apabila kebiri dilakukan oleh seorang dokter, ia akan melanggar etik.
Dari aspek medis teknis pelaksanaan tidak sederhana: perlu melibatkan dokter ahli bedah, ahli anestesi, ahli kedokteran jiwa.
Bahwa dalam sejarah sudah ada pengebirian pada manusia, tidak berarti itu benar jika dilakukan.
Asas jangan mencederai atau jangan merugikan. Inilah prinsip sebagai penegasan dari asas manfaat.
Asas ini berlaku dari segala aspek kehidupan, jangan mencederai dari segi spiritual (hak beribadah), jangan mencederai dari aspek psikologis, yaitu kewajiban menyimpan rahasia kedokteran, aspek finansial jangan sampai pasien mengeluarkan biaya yang bukan diperlukan.
Berdasarkan asas ini, kebiri akan mencederai pasien dan sangat merugikan karena kehilangan hak berketurunan.
Perlu dicatat, dalam sejarah terdapat panglima perang orang kasim yang memberontak pada raja. Jadi orang kasim tetap berpotensi melaksanakan agresivitasnya.
Asas hak otonomi, mensyaratkan segala pikiran pertimbangan dan keputusan dokter yang akan dikerjakan wajib diketahui, disadari, dan disetujui oleh pasien.
Bahkan, untuk tindakan yang berpotensi merusak jaringan, diperlukan surat persetujuan tertulis.
Dengan demikian, terhukum kebiri berhak minta dokter menaati UU Praktik Kedokteran (2013), jadi ia berhak menolak.
Pertanyaannya: apakah pemerintah dapat memaksa dokter dan perawat melanggar etika dan sekaligus melanggar UU?