Masalah kita tentu bukan hanya inovasi. Kita masih menyimpan dua persoalan utama: stabilitas dan keterbukaan.
Stabilitas menuntut toleransi dari berbagai sisi, sementara keterbukaan adalah ruh dari demokrasi.
Peristiwa di Papua dan Aceh baru-baru ini sungguh menyadarkan bahwa kita harus belajar lagi tentang toleransi, sementara demokrasi kita memang masih berusia belia.
Sebagai mantan Panglima TNI, saya pernah merasakan bagaimana rumitnya bermain di ruang sempit di antara keduanya dengan harus tetap menjaga keseimbangan nilai-nilai kedua hal tersebut.
Mengingat kondisi tersebut, saya sepakat program bela negara masih kontekstual dilaksanakan untuk memberikan penyadaran bahwa bangsa ini bisa menjadi besar jika kita memiliki kedisiplinan serta visi yang kuat seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan kita.
Disiplin yang kuat, visi yang jauh ke depan, serta semangat juang yang tak pernah menyerah akan menghasilkan karya yang inovatif untuk memulai hadirnya kemakmuran sebuah bangsa.
Hal ini telah dibuktikan oleh 180 animator anak bangsa, yang dengan segala totalitas menghadirkan film Battle of Surabaya, yang dirilis tiga hari setelah film Jenderal Soedirman tayang di bioskop.
Film ini merupakan film animasi 2D dengan tema sejarah bangsa yang gaungnya mampu memberi sesuatu yang baru untuk film bergenre anime di Indonesia.
Seolah mewarisi semangat juang Bung Tomo dan kawan-kawan, waktu tayang film Battle of Surabaya berani bersaing merebut penonton dengan film animasi Inside Out produksi Pixar yang distribusinya ditangani Walt Disney Pictures.