Harapan ini tentu bukan sesuatu yang aneh dalam era digital seperti sekarang. Saat ini tumbuh generasi-generasi baru yang memerlukan penanganan berbeda.
Membahas soal generasi era post-modern, The Telegraph edisi 31 Juli 2014 menurunkan artikel bertajuk "Gen Z, Gen Y, Baby Boomers-a Guide to the Generations".
Generasi Z merujuk pada anak-anak yang lahir menjelang dan setelah milenium baru. Mereka ini sering disebut sebagai digital native alias "penduduk asli/pribumi" dunia digital.
Sebelum itu, ada generasi Y yang lahir pada kurun waktu 1980-2000. Mereka ini sudah mulai melek teknologi. Generasi X adalah mereka yang lahir pada periode 1965-1979 dan terkenal dengan budaya subkulturnya.
Sementara itu, generasi baby boomers lahir pada 1946-1964. Periode ini ditandai dengan ledakan angka kelahiran bayi pada masa-masa awal setelah Perang Dunia II usai.
Budaya kewargaan
Generasi X, Y, dan Z tersebut merupakan orang-orang yang hidup berdampingan, atau bahkan sangat dekat dengan dunia digital.
Soal dampak teknologi informasi bagi mereka, tentu ada yang positif dan negatif. Hujatan, fitnah, dan ujaran kebencian di media sosial yang belakangan tengah ramai dibahas di Indonesia merupakan salah satu contoh negatif media sosial dan partisipasi politik.
Namun, upaya membuat aplikasi daring itu tentu menjadi bentuk partisipasi positif.
Hanya saja, aplikasi-aplikasi itu tidak langsung berujung pada partisipasi aktif di ranah daring.
Tantangan selanjutnya bagaimana partisipasi offline pengembang aplikasi yang ditujukan kepada netizen atau pengguna internet itu bisa melahirkan partisipasi di dunia daring.
Selanjutnya, partisipasi daring itu bertransformasi dalam aktivitas offline di bilik suara pada 9 Desember mendatang.
Supaya transformasi itu muncul, Peter Dahlgren (2009) dalam Media and Political Engagement menyebut perlunya penumbuhkembangan budaya kewargaan (civic culture).
Pengetahuan dan kepercayaan menjadi dua dari enam komponen yang membentuk budaya kewargaan itu.