Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Muhtar Ependy Bantah Uang Rp 15 Miliar dari Bupati Empat Lawang untuk Suap Akil

Kompas.com - 05/11/2015, 14:39 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengusaha sekaligus konsultan Pilkada Muhtar Ependy mengaku menerima uang sebesar Rp 15 miliar dari Bupati nonaktif Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzanna.

Namun, ia membantah bahwa uang tersebut untuk diberikan kepada mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, untuk memenangkan gugatan sengketa Pilkada di MK.

"Tidak pernah (diberi ke Akil). Itu untuk fee konsultan," ujar Muhtar saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (5/11/2015).

Muhtar mengatakan, Budi menjadi kliennya setelah mengadukan adanya kecurangan dalam Pilkada di Empat Lawang.

Tak hanya menyediakan atribut selama Pilkada, Muhtar juga membuka jasa konsultasi bagi calon kepala daerah yang merasa dicurangi dalam proses pemilu.

Jaksa pun mempertanyakan fee untuk konsultasi yang dianggap terlalu mahal. (baca: Akil Mochtar Tetap Bantah Terima Suap Terkait Sengketa Pilkada)

"Kita kan memberi masukan berharga untuk membuktikan bahwa beliau dizolimi. Segitu masih kecil, bu," kata Muhtar kepada jaksa.

Muhtar mengatakan, untuk pembayaran jasa konsultasi, dia bertemu langsung dengan Budi dan Suzana di Bank BPD Kalbar Cabang Jakarta.

Menurut Muhtar, mulanya Budi menitipkan uang Rp 10 miliar itu kepada Wakil Pimpinan Bank Kalbar PT BPD Kalbar Cabang Jakarta, Iwan Sutaryadi, untuk disimpan di rekeningnya.

Setelah itu, kata Muhtar, menyusul pembayaran Rp 5 miliar lagi yang juga disetorkan ke Bank BPD Kalbar. (baca: Bersama Atut, Mantan Kandidat Pilkada Lebak Ini Suap Akil Mochtar Rp 1 Miliar)

"Uang fee itu buat apa?" kata jaksa.

"Untuk pembayaran hutang saya ke yang punya bahan, untuk pengadaan stok bahan bendera, baju, pembelian induk ikan arwana di Kalbar," jawab Muhtar.

Muhtar membantah pernah menghubungkan Budi dengan Akil terkait penyelesaian sengketa Pilkada Empat Lawang.

Bahkan, Muhtar berani bersumpah bahwa tak ada satu rupiah pun yang dia berikan kepada Akil terkait sengketa Pilkada tersebut.

"Demi Allah, tidak ada," kata dia.

Dalam berkas dakwaan, Budi dan Suzana disebut menyuap Akil sebesar Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS atau setara Rp 5 miliar.

Suap tersebut dilakukan agar majelis hakim MK mengabulkan gugatan yang diajukan Budi terkait sengketa Pilkada Empat Lawang.

Setelah sidang perdana, Budi dihubungi oleh Muhtar Ependy, orang dekat Akil, dan meminta bertemu.

Dalam pertemuan kedua, Budi menyampaikan terjadi penggelembungan suara pada 10 desa dengan 38 tempat pemungutan suara di Kecamatan Muara Pinang serta menginginkan dilakukan penghitungan suara ulang.

Budi juga menyerahkan salinan model C1-KWK berupa sertifikat hasil penghitungan suara. Melihat lembaran tersebut, Muhtar memastikan Budi akan menang dalam gugatannya karena bantuan Akil.

Akhir Juni 2013, sebelum sidang putusan sela, Muhtar dihubungi Akil yang menanyakan imbalan dari Budi.

Muhtar kemudian menyampaikan permintaan itu kepada Budi dan meminta uang sebesar Rp 10 miliar. Saat itu, Muhtar menyebut nominal uang dengan istilah "10 pempek".

Setelah itu, Akil meminta uang tambahan kepada Budi sebesar Rp 5 miliar terkait dengan penerbitan putusan sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang.

Atas perbuatannya, Budi dan Suzana dijerat Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com