Tim kajian gambut Universitas Gadjah Mada menyampaikan hasil studinya tahun 2014 lalu, bahwa sebaran titik-titik api di lahan gambut sangat dikontrol oleh sebaran jaringan kanal-kanal buatan.
Kehadiran kanal-kanal inilah, terutama di zona kubah gambut, yang memicu pengatusan air bawah tanah di lahan gambut. Semakin luas jaringan kanal ini, makin bertambah pula titik-titik api yang terjadi.
Berbagai sumber (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Pertanian) mencatat bahwa luas wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan mencapai 1,7 juta hektar.
Total kehilangan akibat bencana tersebut di Provinsi Riau mencapai Rp 20 triliun, belum termasuk wilayah lain di Indonesia.
Wilayah yang terpapar di Sumatera mencakup 25,6 juta penduduk, sedangkan di wilayah Kalimantan mencapai 3 juta jiwa. Kebakaran hutan dan lahan juga berdampak berat pada transportasi udara, pendidikan, kesehatan, dan aktivitas ekonomi.
Selain kerusakan dan kerugian, kebakaran hutan dan lahan yang meluas sangat sulit untuk dipadamkan dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh wilayah yang terbakar tidak hanya di permukaan, tetapi juga di bawah permukaan (sub-surface).
Api yang membakar lahan gambut dengan ketebalan 1 meter-3 meter sangat menyulitkan proses pemadaman dan membutuhkan volume air cukup banyak.
Untuk memadamkan api dengan luas 1 meter persegi dengan kedalaman api 30 sentimeter dibutuhkan 200 liter-400 liter air.
Dengan air sebanyak itu, bisa dibayangkan berapa volume total air untuk memadamkan api di 1,7 juta hektar hutan dan lahan.
Mengurangi risiko
Lalu bagaimana caranya mengupayakan pengurangan risiko kebakaran lahan gambut berupa kerugian lingkungan, sosial, dan ekonomi yang terus berlangsung secara sistemik ini?
Terkait upaya pencegahan kebaran lahan gambut dan hutan, UGM telah melakukan kajian intensif selama beberapa tahun.