Salah satu kekuatan utama Jokowi sejak lama adalah kedekatannya dengan rakyat. Karena itu, modal sosial berupa kepercayaan inilah yang menjadi simpul kekuatan Jokowi dalam mengurai pola interaksi yang sering menjebak siapa pun presiden berkuasa dalam praktik politik konsensus yang kolusif.
Helmke dan Levitsky dalam Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda (2004) mencatat, akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik, yakni pola melengkapi, mengakomodasi, menyaingi, dan menggantikan. Setiap pola memiliki pendekatan berbeda-beda.
Idealnya, dalam proses penguatan konsolidasi demokrasi, ada kejelasan posisi politik di dalam atau di luar kekuasaan. Namun, dalam praktik politik, pola hubungan berjalan sangat cair.
Dalam situasi ini, godaan membangun pola interaksi akomodatif sangat tinggi sehingga kekuasaan berjalan elitis dan transaksional. Zona nyaman kekuasaan sering melenakan dan mengokohkan mitos bahwa garansi politik hanya akan diperoleh dari koalisi besar parpol.
Evaluasi performa
Performa komunikatif Jokowi masih kedodoran di satu tahun pertama pemerintahannya.
Pacanowsky dan O'Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982) mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi.
Dalam konteks bahasan ini, publik tentu akan memahami sikap dan tindakan komunikatif Jokowi dalam memimpin Kabinet Kerja.