Dalam setahun ini, pemerintahan Jokowi mengklaim berhasil meredam dampak krisis global. Pembangunan infrastruktur juga terlihat massif. Program yang didengungkan melalui Nawa Cita mulai berjalan, walau manfaatnya belum bisa dirasakan penuh.
Sekretaris Fraksi Golkar di DPR, Bambang Soesatyo menilai, kepemimpinan Jokowi kurang "moncer". Menurut Bambang, ada gangguan dari partai pendukung yang kerap memengaruhi keputusan Jokowi.
Kekurangan fundamental, kata Bambang, adalah ketidakmampuan Istana berkomunikasi dengan partai pendukung. Khususnya pada sembilan bulan awal pemerintahan. Pada masa itu, kekuatan politik Jokowi terus merosot.
Pemicunya adalah pembentukan kabinet yang merambat pada isu lainnya. Keinginan Jokowi menyesaki kabinet dari kalangan teknokrat bertabrakan dengan keinginan partai pendukungnya. Akhirnya, penyusunan kabinet dianggap tidak sepenuhnya atas keinginan Presiden.
Semua partai pendukung mendapatkan "jatah". Meski demikian, gejolak tetap saja ada. Situasi makin sulit karena Jokowi tidak memiliki juru runding yang andal. Jembatan komunikasi Istana dengan partai pendukung dan parlemen nyaris ambruk.
"Setahun ini, Jokowi baru bisa menyenangkan para pendukungnya dengan memberikan kursi empuk. Rupanya pembagian kursi tidak membuat lega, justru cakar-cakaran," kata Bambang, beberapa hari lalu.
Jokowi memerlukan sembilan bulan untuk memecah kebuntuan. Ia melakukan penyegaran dengan merombak kabinetnya pada pekan kedua Agustus 2015.
Perombakan kabinet ini dianggap efektif. Khususnya pada posisi Sekretaris Kabinet yang kini dijabat Pramono Anung (menggantikan Andi Widjajanto). Kehadiran Pramono membuat Istana lebih luwes. Mantan Sekjen DPP PDI-P itu menguasai medan politik dan sering berperan mengatur lalu lintas komunikasi Istana.
Pemberantasan korupsi lambat
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho sependapat jika Jokowi disebut belum berhasil keluar dari kepentingan partai politik. Ia menilai, Jokowi selalu lambat membuat keputusan pada isu-isu strategis.
Kriminalisasi pimpinan dan usaha pelemahan KPK, kata Emerson, datang sekaligus pada tahun pertama pemerintahan Jokowi. Penanganan Jokowi untuk dua isu itu mengecewakan.
"Posisi Jokowi belum otonom. Ada usaha untuk melepas kepentingan politik, tapi masih kompromis," kata Emerson.
Ia berharap Jokowi memanfaatkan "ultah" kabinetnya dengan melakukan evaluasi. Momentum ini harus jadi cara untuk melakukan perubahan dan menjaga kepercayaan publik.
"Janji kampanye harus diwujudkan," ujar Emerson.
Tak lagi sebatas konsolidasi
Menurut Direktur Eksekutif Indobarometer, M Qodari, ketegasan Presiden berbanding lurus dengan pondasi politik yang dimiliki. Untuk urusan politik, Jokowi memang sangat terbatas karena bukan struktural partai.
Kesulitan Jokowi semakin pelik ketika ada menteri yang lebih loyal pada partai. Qodari yakin, kasus seperti itu terjadi dan sangat memengaruhi kinerja kabinet.
Namun, menurut dia, sudah ada peningkatan akselerasi politik dari Istana. Jokowi mulai menemukan pola politiknya. Iklim kondusif ini harus dijaga.
Setelah konsolidasi tercapai, langkah selanjutnya adalah eksekusi. Tujuan dapat tercapai dengan sokongan penuh kabinet dan sektor birokrasi. Penyegaran harus merujuk pada kebutuhan mencapai program, bukan pesanan.
Apalagi, survei terbaru Indobarometer mengungkap lebih dari 50 persen responden tidak puas terhadap kinerja satu tahun pemerintahan Jokowi. Oleh karena itu, Jokowi harus "berlari" pada tahun kedua, tidak lagi sebatas konsolidasi.
"Persoalannya sudah bergeser. Sekarang bukan persoalan ide, tapi soal eksekusi. Wujudkan Nawa Cita menjadi sukacita, bukan duka cita," ujar Qodari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.