Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Hukum Tak Jadi Panglima

Kompas.com - 17/10/2015, 15:23 WIB

Oleh: Anita Yossihara dan M Fajar Marta

KOMPAS - Tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla bukanlah periode yang mudah. Persoalan politik, hukum, dan ekonomi silih berganti harus dihadapi pemerintahan ini, bahkan sejak hari pertama masa kerjanya.

Setelah menghadapi polarisasi politik antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, pemerintah dihadapkan pada ketegangan hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi versus kepolisian. Pemerintah saat ini dihadapkan pada pelambatan ekonomi.

Harga komoditas jatuh, membuat perekonomian dalam negeri dan neraca pembayaran Indonesia tertekan. Ditambah ketidakpastian ekonomi global membuat rupiah melemah terhadap dollar AS. Belanja pemerintah yang diharapkan mempercepat gerak ekonomi juga terkendala oleh, antara lain, pembenahan nomenklatur kementerian, keterlambatan pengesahan anggaran pemerintah daerah, dan ketakutan pejabat terjerat hukum.

Serapan anggaran seret. Hingga 22 September, penyerapan baru 46,59 persen dari anggaran yang disediakan. Belanja pemerintah rendah. Ini sebenarnya juga disebabkan minimnya uang pemerintah. Meski subsidi bahan bakar minyak dikurangi, penerimaan negara dari pajak jauh dari yang diharapkan.

Berdasarkan data realisasi APBN 2015 yang dirilis Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hingga akhir Juli 2015 baru sebesar 41,7 persen dari total target penerimaan pajak Rp 1.489,3 triliun.

Berbagai langkah ditempuh untuk meningkatkan gairah perekonomian, seperti mengeluarkan paket kebijakan I-IV. Langkah lain adalah pengusulan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional oleh sejumlah anggota DPR pada rapat Badan Legislasi, 6 Oktober lalu.

Salah satu pengusul dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), M Misbakhun, mengatakan, RUU itu perlu dibahas cepat demi menyelamatkan keuangan negara. "RUU ini mendesak dan urgen," ujarnya.

Uang tebusan

Para pengusul RUU Pengampunan Nasional melihat potensi pendapatan yang dapat menutupi kekurangan penerimaan negara, yaitu uang warga Indonesia yang disimpan di luar negeri yang diperkirakan Rp 3.000 triliun-Rp 4.000 triliun. Ditambah lagi dengan "uang bantal", yakni uang yang disimpan di kediaman, yang besarnya Rp 2.000 triliun-Rp 3.000 triliun.

Simpanan itu perlu direpatriasi, dikembalikan ke dalam negeri. Agar pemilik simpanan mau memulangkan uangnya, negara perlu memberi kompensasi berupa pengampunan dari berbagai ancaman hukuman. Syaratnya, mengajukan permohonan pengampunan dan membayar tebusan.

Dalam draf RUU diketahui, tarif tebusan diusulkan 3-8 persen dari kekayaan yang dilaporkan. Pemohon yang minta pengampunan pada Oktober-Desember 2015 membayar tebusan 3 persen, Januari-Juni 2016 sebesar 5 persen, dan mereka yang minta pengampunan pada Juli-Desember 2016 harus membayar tebusan 8 persen. Selain uang tebusan, syarat lain harus melunasi tunggakan pajak.

Setelah itu, mereka akan mendapatkan sejumlah fasilitas, seperti diatur dalam Pasal 9 dan 10. Merujuk pada ketentuan Pasal 10, negara hanya akan menyoal perolehan kekayaan para pemohon pengampunan jika harta diperoleh berkaitan dengan tindak pidana terorisme, narkoba, dan perdagangan manusia. Di luar tiga jenis tindak pidana itu, para pemohon pengampunan tidak akan dijerat hukuman meski hartanya berasal dari korupsi, pencucian uang, pembalakan liar, dan lainnya.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Hendrawan Supratikno, menghitung, potensi penerimaan tambahan dari pengampunan pajak sekitar Rp 210 triliun-Rp 350 triliun.

"Usulan uang tebusan itu, kan, 3-8 persen. Kalau dirata-rata 5 persen saja dikalikan Rp 7.000 triliun, artinya kalau optimistis bisa dapat Rp 350 triliun. Hitungan pesimistisnya Rp 210 triliun, yakni 3 persen dikalikan Rp 7.000 triliun," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dampak Korupsi Tol MBZ Terungkap dalam Sidang, Kekuatan Jalan Layang Berkurang hingga 6 Persen

Dampak Korupsi Tol MBZ Terungkap dalam Sidang, Kekuatan Jalan Layang Berkurang hingga 6 Persen

Nasional
Mahfud MD Ungkap Kecemasannya soal Masa Depan Hukum di Indonesia

Mahfud MD Ungkap Kecemasannya soal Masa Depan Hukum di Indonesia

Nasional
Jalan Berliku Anies Maju di Pilkada Jakarta, Sejumlah Parpol Kini Prioritaskan Kader

Jalan Berliku Anies Maju di Pilkada Jakarta, Sejumlah Parpol Kini Prioritaskan Kader

Nasional
Kunker di Mamuju, Wapres Olahraga dan Tanam Pohon Sukun di Pangkalan TNI AL

Kunker di Mamuju, Wapres Olahraga dan Tanam Pohon Sukun di Pangkalan TNI AL

Nasional
Sebut Demokrasi dan Hukum Mundur 6 Bulan Terakhir, Mahfud MD: Bukan karena Saya Kalah

Sebut Demokrasi dan Hukum Mundur 6 Bulan Terakhir, Mahfud MD: Bukan karena Saya Kalah

Nasional
Bobby Resmi Masuk Gerindra, Jokowi Segera Merapat ke Golkar?

Bobby Resmi Masuk Gerindra, Jokowi Segera Merapat ke Golkar?

Nasional
[POPULER NASIONAL] Korps Marinir Tak Jujur demi Jaga Marwah Keluarga Lettu Eko | Nadiem Sebut Kenaikan UKT untuk Mahasiswa Baru

[POPULER NASIONAL] Korps Marinir Tak Jujur demi Jaga Marwah Keluarga Lettu Eko | Nadiem Sebut Kenaikan UKT untuk Mahasiswa Baru

Nasional
Poin-poin Klarifikasi Mendikbud Nadiem di DPR soal Kenaikan UKT

Poin-poin Klarifikasi Mendikbud Nadiem di DPR soal Kenaikan UKT

Nasional
Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Menkes: Pasti Akan Masuk ke Indonesia

Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Menkes: Pasti Akan Masuk ke Indonesia

Nasional
Sidang Perdana Kasus Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Digelar Tertutup Hari Ini

Sidang Perdana Kasus Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Digelar Tertutup Hari Ini

Nasional
Saat PKB dan PKS Hanya Jadikan Anies 'Ban Serep' pada Pilkada Jakarta...

Saat PKB dan PKS Hanya Jadikan Anies "Ban Serep" pada Pilkada Jakarta...

Nasional
Tanggal 25 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 25 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Dukung Pengelolaan Sumber Daya Alam, PHE Aktif dalam World Water Forum 2024

Dukung Pengelolaan Sumber Daya Alam, PHE Aktif dalam World Water Forum 2024

Nasional
Ridwan Kamil Sebut Pembangunan IKN Tak Sembarangan karena Perhatian Dunia

Ridwan Kamil Sebut Pembangunan IKN Tak Sembarangan karena Perhatian Dunia

Nasional
Jemaah Haji Dapat 'Smart' Card di Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Jemaah Haji Dapat "Smart" Card di Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com