Transparansi dan integritas pengelola hutan
Aspek ketiga adalah transparansi dan integritas pengelola hutan. Reformasi perizinan sektor kehutanan harus diikuti transparansi dan integritas pengelola hutan. Transparansi ini penting untuk memastikan bahwa proses penetapan wilayah usaha kehutanan dan wilayah izin usaha kehutanan dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Transparansi juga diperlukan untuk memastikan para pemohon memenuhi kualifikasi serta memiliki kapasitas pendanaan dan rekam jejak yang baik.
Pemerintah tentu tak mencari perusahaan yang hanya kejar untung dan lupa dengan kewajibannya. Ini untuk menghindari beban pemerintah nanti. Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, Kementerian LHK tengah melakukan investigasi terhadap 149 perusahaan sektor kehutanan dan 147 sektor kebun yang wilayahnya terbakar. Terbakarnya lahan perusahaan berkontribusi terhadap bencana asap yang sangat merugikan ekosistem, masyarakat, dan pemerintah.
Hasil kaji cepat terhadap 540 perusahaan pemegang izin di sektor kehutanan menunjukkan 79 persen dari 540 perusahaan tidak memiliki website (Situmorang, 2015). Dari 21 persen perusahaan yang memiliki website, 54 isi website-nya tidak informatif. Paramaternya pun sederhana, seperti profil perusahaan, lokasi usaha, kegiatan produksi, CSR, dan kebijakan-kebijakan perusahaan. Dari 21 persen yang website-nya informatif, hanya 27 persen web-nya terus diperbarui dan sisanya tidak diperbarui secara reguler. Kalau kita cek pemberitaan, 80 persen beritanya negatif dan sangat jarang berita positif ditemukan di media arus utama. Ini bisa menjadi satu indikasi lemahnya komitmen penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Aspek keempat adalah kapasitas penegakan hukum administratif. Dalam konteks 14 hari kerja, Menteri LHK menegaskan pengawasan melekat akan diterapkan. Kementerian LHK juga telah membentuk gugus tugas perizinan yang salah satunya bertugas melakukan kaji ulang izin-izin sektor kehutanan yang pernah dikeluarkan. Kapasitas di sini tidak hanya melakukan audit kepatuhan dan pengawasan melekat, tetapi juga kapasitas pemerintah-Kementerian LHK dan SKPD Kehutanan di tingkat provinsi-memastikan rekomendasi dijalankan dan sanksi diberikan kepada yang tak memiliki niat baik menjalankannya.
Untuk menghindari "permainan", pertanggungjawaban kepada publik perlu dibenahi dan penguatan kapasitas LSM, baik pada tingkat pusat maupun daerah, dalam melakukan pengawasan juga perlu ditingkatkan. Check and balance dibutuhkan. Berdasarkan kajian indeks tata kelola hutan 2012 dan 2014, kapasitas kelompok masyarakat sipil masih sangat terbatas di arena ini. Karenanya, pemerintah juga memainkan peran penting mengedukasi masyarakat untuk menjadi instrumen kontrol kebijakan perizinan. Sebelum aspek-aspek di atas dapat dipenuhi terlebih dahulu, sulit sekali membayangkan 14 hari kerja dan ikhtiar reformasi sistem perizinan sektor kehutanan dapat terwujud.
Abdul Wahib Situmorang
Penasihat Teknis Tata Kelola Hutan UNDP Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Reformasi Perizinan Kehutanan".