Dibandingkan ancaman-ancaman eksternal tradisional lainnya, intervensi terakhir di atas harus diakui paling sedikit dapat perhatian dari pihak-pihak yang berwenang untuk itu. Masih langka, misalnya, hasil-hasil penelitian dari lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga/organisasi swasta yang didedikasikan untuk persoalan-persoalan tersebut. Sampai seberapa jauh sesungguhnya intervensi kultural via media sosial, misalnya, memengaruhi perkembangan kepribadian anak? Menggeser pola acuan hingga tindakan masyarakat secara keseluruhan? Mengubah tatanan nilai, tradisi, hingga kebudayaan dan produk-produknya di seluruh dimensi?
Generasi korban
Demikianlah kenyataannya jika kebudayaan tetap dianaktirikan, dianakjadahkan, oleh seluruh program dan proses pembangunan negeri ini. Pembangunan yang dalam slogannya selalu menggaungkan kebutuhan-kebutuhan mendesak dibangunnya jati diri, karakter, hingga perilaku penuh martabat masyarakat kita sesuai dengan isi dan sejarah kebudayaan bangsa ini yang begitu panjang riwayatnya. Mengapa kita tidak juga tergerak batin dan nuraninya akan fakta yang mengeras ini?
Apa yang kita nafikan atau remehkan dari kerja kebudayaan ini sudah dimulai dari tidak adanya komprehensi yang utuh dan adekuat tentang kebudayaan dan produk-produknya. Berulang kali harus dikatakan, sebagai contoh, kalau kebudayaan kita saat ini bukanlah apa yang selalu kita deretkan dalam memori keliru kita tentang: tari saman, batik, Borobudur, wayang golek, La Galigo, Serat Centhini, atau Majapahit dan Sriwijaya. Bukan, sama sekali bukan. Itu semua produk dari kebudayaan nenek moyang kita dahulu. Bukan produk dari kebudayaan kontemporer kita saat ini. Namun, masih saja kita tak berani mengakuinya dan masih beromansa, lebih tepatnya bersembunyi, di balik karya luhur para leluhur.
Akibatnya kita tak berani (dan jujur) mengakui apabila peradaban kita saat ini adalah lanskap semua kota (wilayah urban) negeri ini, yang diisi pencakar langit, bangunan megah, perumahan mewah yang sama sekali tidak merepresentasi arsitektur, keindahan ornamentik, hingga kosmologi, tata ruang atau kesadaran spasial yang begitu kaya dan dalam dari banyak tradisi etnik di seluruh sudut negeri ini. Kita tidak berani mengakui betapa identitas diri kita sebagai manusia, etnik, bahkan bangsa kita kian lamur dan kabur, bahkan chaos dan disorientatif, dimulai dari cara kita menamai segala bentuk dan gejala, bahkan nama diri kita sendiri, seperti terlukis di atas.