Oleh: Haryo Damardono
JAKARTA, KOMPAS - Sekitar tahun 1930-an, koran Daulat Rakjat dikenal sebagai episentrum dari perdebatan para pemikir, pemerhati, hingga pemimpin bangsa. Bung Hatta memang berniat menjadikan artikel-artikel di Daulat Rakjat sebagai media pendidikan kader.
Tidak heran apabila Daulat Rakjat banyak memuat artikel yang memancing pro-kontra dan menjadi polemik di masyarakat. Apabila tulisan membuka wawasan bersama, polemik mengkristalkan pemikiran dari sejumlah pihak demi kebaikan bangsa dan pergerakan kemerdekaan.
Polemik di media cetak ketika itu berlangsung sedemikian sehat. Perdebatan diletakkan dalam konteksnya. Tidak ada pihak yang mendendam terhadap kontra opini dari pihak lain.
Dulu, warga masyarakat, terutama kaum terdidik, memang terbiasa bantah-berbantah di surat kabar. Namun, kini, ada istilah demokrasi di ruang digital. Lambat laun demokrasi digital menjadi alternatif dari diskursus di ruang media cetak dan diskusi melalui pertemuan langsung seperti yang terjadi di warung kopi.
Diskusi di warung kopi secara umum tentu lebih asyik dibandingkan dengan diskusi di media masa atau media digital. Namun, kemacetan di kota-kota besar menyulitkan perjalanan menuju warung-warung kopi.
Dalam perkembangannya, diskusi di ruang digital juga punya nilai positif karena menjangkau lebih banyak khalayak.
Ancaman
Persoalannya, tukar-menukar pemikiran atau sekadar pernyataan sikap melalui perangkat gawai ternyata dibatasi regulasi, yaitu lewat hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam perkembangannya, UU No 11/2008 tak sekadar mengatur, tetapi juga menebarkan ancaman. Ancaman itu datang dari Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Pasal 45 UU No 11/2008 menyebutkan, setiap orang yang melanggar Pasal 27 Ayat 3 diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Korban dari UU ITE itu tidak sekadar masyarakat biasa saat berhadapan dengan pemerintah, instansi tertentu, atau sebuah raksasa bisnis. Namun, UU ITE juga mengancam seseorang dalam relasinya dengan orang lain.
Tidak heran apabila kemudian ada kasus seorang teman melaporkan temannya akibat percakapan di Facebook, seorang warga ditahan hanya karena dinilai menghina seorang politisi, dan seorang ibu rumah tangga dipolisikan oleh atasan suaminya.