Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras: Seolah-olah Negara Hadir Lewat Rekonsiliasi, Padahal Tidak!

Kompas.com - 03/07/2015, 10:15 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Upaya rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh Komite Kebenaran Penyelesaian Masalah HAM Masa Lalu dianggap langkah yang memotong prinsip kemanusiaan dan keadilan.

"Seolah-olah negara hadir lewat rekonsiliasi. Menteri-menterinya mau ikut-ikut gaya Jokowi, reaktif, cepat dan taktis. Padahal tidak! Itu memotong prinsip kemanusiaan dan keadilan," ujar Haris Azhar koordinator KontraS ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (3/6/2015).

Haris mengatakan bahwa yang terpenting bagi penyelesaian perkara pelanggaran berat HAM masa lalu bukanlah rekonsiliasi. Namun, negara harus memenuhi hak-hak korban atau keluarganya terlebih dahulu.

Pertama, hak atas keadilan. Haris menjelaskan, hak ini mencakup proses hukum atas pelanggaran itu. Jika memang terbukti ada kejahatan HAM lewat proses hukum yang benar, pelakunya harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

"Kita punya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sudah ada undang-undangnya, tinggal itu dijalankan saja," ujar Haris.

Kedua, hak untuk mendapatkan informasi. Dia menjelaskan, hak ini memiliki arti, korban atau keluarga wajib mendapatkan informasi soal kejadian pelanggaran HAM yang terjadi seperti apa. Misalnya, bagi aktivis yang hilang, di mana dia saat ini? Jika meninggal dunia, di mana dikuburkan? Jika masih hidup, di mana dia berada?

Ketiga, yakni hak mendapatkan perbaikan kondisi. Artinya, apa perbaikan kondisi yang didapatkan korban atau keluarganya setelah pelanggaran terjadi. Negara, lanjut Haris, mesti melakukan perubahan, misalnya tidak mengulangi pelanggaran HAM, memproses hukum para pelakunya. Selain itu, memperbaiki aturan soal HAM sebagai jaminan, keluarga atau korban mendapat pengakuan negara, restitusi dan lain-lain.

"Jadi enggak penting itu negara sok-sokan mau hadir melalui komite apalah. Itu sekedar hadir dan sekedar bersikap tanpa memenuhi hak-hak korban atau keluarga namanya," lanjut Haris.

Kontras berharap Presiden Joko Widodo serta menteri-menterinya menyadari hak-hak yang harus dipenuhi terhadap para korban dan keluarga. Kontras ingin negara benar-benar 'mencuci bersih dosa negara' di masa lalu dengan memproses perkara-perkara itu di jalur hukum.

Jaksa Agung HM Prasetyo sebelumnya mengatakan, pemerintah berupaya untuk mewujudkan proses rekonsiliasi dengan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Setidaknya, ada tiga tahapan yang akan dilalui jika proses rekonsiliasi berjalan. (baca: Pemerintah Upayakan Rekonsiliasi dengan Korban Pelanggaran Berat HAM)

Tiga tahapan rekonsiliasi itu yakni pernyataan bahwa ada pelanggaran HAM, dilanjutkan dengan kesepakatan bersama antara korban dan pelaku, kemudian diakhiri dengan permintaan maaf negara kepada korban atau keluarganya.

Prasetyo mengatakan, keputusan apa pun pasti menimbulkan pro dan kontra. Namun, kesepakatan yang ada merupakan langkah terbaik.

Anggota komite disepakati sebanyak 15 orang. Komite yang berada langsung di bawah Presiden ini terdiri dari unsur korban, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, purnawirawan Polri, purnawirawan TNI, dan beberapa tokoh masyarakat yang kompeten dalam penegakan HAM.

Jenderal Moeldoko mengapresiasi pembentukan komite gabungan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lalu ini. Menurut dia, langkah rekonsiliasi dan permohonan maaf merupakan langkah yang tepat.

"Bukan berarti melupakan karena persoalan masa lalu ini tidak boleh dilupakan. Tapi, saling memaafkan itu diperlukan supaya tuntas," kata Moeldoko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

Nasional
Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com