Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gagalkan Fadlil Sumadi, KY Dipertanyakan

Kompas.com - 06/06/2015, 14:51 WIB


JAKARTA, KOMPAS
— Komisi Yudisial diminta menjelaskan alasan tidak diloloskannya mantan hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi sebagai calon hakim agung. Metode penilaian dalam proses seleksi tersebut pun dipertanyakan.

Salah satu yang membuat berbagai pihak bertanya-tanya adalah rekomendasi KY terhadap Fadlil untuk menjadi hakim konstitusi pada masa jabatan kedua tahun 2014 karena tak punya catatan buruk. Saat itu, di antara sejumlah nama yang ikut seleksi, KY hanya merekomendasikan Fadlil dan Manahan Sitompul.

"Untuk apa konstitusi menyematkan status tertinggi hakim konstitusi sebagai negarawan jika kemudian itu tidak berimplikasi apa-apa. Itu sama saja melecehkan konstitusi. Kalau sudah negarawan itu tuntas hidupnya," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Widodo Ekatjahjana, Jumat (5/6/2015).

Pada seleksi calon hakim agung periode pertama 2015, KY meloloskan enam calon hakim agung, yaitu Suhardjono (hakim tinggi Pengadilan Tinggi Surabaya), Wahidin (hakim tinggi PT Bandung), Sunarto (Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung), Maria Anna Samiyati (Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah), Mukti Arto (Wakil Ketua PT Agama Jambi), dan Yosran (hakim tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya).

Bersaing dengan Mukti

Fadlil bersaing dengan Mukti Arto karena sama-sama memperebutkan kedudukan sebagai hakim agung pada kamar agama. Dilihat dari berbagai sisi, seperti integritas, kapasitas, dan kemampuan, menurut Widodo, Fadlil sudah teruji. Sebagai hakim konstitusi, Fadlil telah membuktikan diri. Sumbangsih pemikirannya dalam putusan-putusan MK tak diragukan lagi. "Kecuali KY memiliki data lain yang terkait integritas yang bersangkutan, tapi ini harus dibuka," katanya.

Widodo pun mempertanyakan apakah KY tidak memberikan skor terhadap status negarawan yang disandang oleh mantan hakim konstitusi. Menurut Widodo, status negarawan harus diberi perhatian tersendiri.

Sementara itu, salah seorang unsur pimpinan KY, Imam Anshori Saleh, mengungkapkan, pihaknya mengirimkan Mukti Arto sebagai calon hakim agung pada kamar agama karena skor nilainya tertinggi di antara calon-calon lain. Dibandingkan dengan Fadlil, Mukti Arto dianggap lebih menguasai hukum agama. Hal itu tampak saat seleksi wawancara akhir ketika KY melibatkan mantan Wakil Ketua MA Bidang Non-yudisial yang juga hakim agung agama Ahmad Kamil dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno (untuk memperdalam wawasan keilmuan/kenegaraan).

"Ada juga yang kaget dan menelepon saya kenapa Pak Fadlil tidak masuk (calon hakim agung). Saya katakan bahwa nilai akumulasi (dari masing-masing komisioner) lebih rendah daripada calon lain. Kalau yang dibutuhkan MA satu atau dua hakim agung agama, dia pasti masuk. Tapi, ini yang dibutuhkan hanya satu hakim agung agama," ujar Imam.

Dalam seleksi kali ini, MA membutuhkan delapan hakim agung dengan komposisi 1 hakim agung kamar agama, 2 kamar perdata, 2 kamar tata usaha negara, 2 kamar pidana, dan 1 kamar militer. Namun, KY belum bisa memenuhi semua kebutuhan tersebut. KY tidak mengirimkan calon untuk kamar militer dan masih kekurangan untuk kamar TUN. Keenam nama calon hakim agung tersebut akan segera dikirimkan ke DPR untuk disetujui. (ANA)

* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juni 2015 dengan judul "Gagalkan Fadlil Sumadi, KY Dipertanyakan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com