Kiranya yang dimaksud Soekarno adalah yang kebalikan: "Gotong royong" atau kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia bisa justru menjadi nyata karena kita memberikan komitmen kepada lima sila Pancasila.
Akan tetapi, Pancasila sekarang dalam bahaya.
Kalau Ketuhanan Yang Maha Esa dikebiri berlaku hanya bagi "enam agama yang diakui"-Pancasila tidak mengenal "agama yang diakui"-dan yang berkeyakinan lain oleh negara dibiarkan diganggu, diuber-uber, dan bahkan dibunuh, kalau kampanye politik memanfaatkan perbedaan antara "penduduk asli" dan "pendatang", kalau orang karena beribadat berbeda dicap "ajaran sesat", roh Pancasila dilanggar keras dan kesatuan Indonesia terancam.
Ketuhanan Yang Maha Esa menuntut agar kita menghormati keyakinan religius segenap tumpah darah Indonesia, entah kita sendiri setuju dengan keyakinan itu atau tidak. Dalam hal keyakinan berhadapan dengan Yang Mutlak tak ada mayoritas-minoritas. Dan, negara wajib melindungi semua.
Aktualitas Pancasila
Pertimbangan ini sudah memperlihatkan bahwa Pancasila hanya akan menjalankan fungsinya kalau kita tidak memperlakukannya sebagai pusaka kuno yang disimpan dalam lemari. Aktualitas Pancasila tampak begitu kita menghadapkannya terhadap tantangan-tantangan yang dialami bangsa Indonesia sekarang. Kita harus konsisten.
Kita bicara Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi kita dikelilingi oleh kekerasan, ancaman, kebrutalan, intoleransi, oleh kesombongan yang mau memaksakan kepada saudaranya bagaimana ia harus berketuhanan dan bagaimana tidak. Tekad untuk selalu membawa diri secara beradab mesti merasuk ke dalam keyakinan, hati, dan perasaan kita.
Kita sudah memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam undang-undang dasar supaya harkat kemanusiaan kita semua terlindung dalam hidup bersama kita, tetapi kita masih mengizinkan hak-hak kemanusiaan paling dasar dilanggar.
Sila tengah, Persatuan Indonesia, semakin terancam oleh ekstremisme keagamaan di satu pihak dan di lain pihak oleh hedonisme konsumeristik yang mendesak ke samping solidaritas dan rasa keadilan serta melupakan komitmen pada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita telah membangun demokrasi sesudah 39 tahun pemerintahan otoriter, tetapi sekarang kelas politik yang menguasainya semakin dipersepsi sebagai sebuah elite feodal yang, seperti dulu, melayani diri dari milik bangsa dan hasil keringat rakyat.
Pancasila sebagaimana dicetuskan 70 tahun lalu oleh Soekarno adalah suatu masterpiece, tetapi masterpiece itu hanya dapat mempersatukan bangsa Indonesia kalau kita memberi komitmen tanpa ragu kepada tuntutan-tuntutannya.
Franz Magnis-Suseno
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juni 2015 dengan judul "Merayakan 70 Tahun Pancasila".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.