Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada, Mahkamah Partai, dan Islah...

Kompas.com - 23/05/2015, 16:00 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Salah satu putusan Mahkamah Partai Golkar pada 3 Maret 2015 yang hingga saat ini tidak pernah diperdebatkan adalah kewajiban untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional Partai Golkar selambat-lambatnya 16 Oktober 2016. Putusan itu diambil terkait perselisihan kepengurusan di internal Golkar, yaitu antara kepengurusan versi Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.

Musyawarah nasional (munas) gabungan itu sejatinya adalah hal terbaik yang direkomendasikan oleh empat hakim anggota Mahkamah Partai Golkar (MPG), yaitu Muladi, Natabaya, Andi Mattalatta, dan Djasri Marin. Munas gabungan merupakan koridor untuk kembali mewujudkan islah. Sulit untuk islah dengan sekadar menandatangani perjanjian karena proses itu tak adil pula bagi kader Golkar lain karena seolah hanya "membagi" Golkar untuk faksi Aburizal dan Agung.

Terhadap koridor islah, menurut Muladi, awalnya empat hakim MPG sepakat menyodorkan hal itu bagi penyelesaian perselisihan kepengurusan. Akan tetapi, Andi Mattalatta dan Djasri Marin berubah sikap menjadi mengakui kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta yang dipimpin Agung. Namun, DPP Golkar hasil Munas Jakarta harus mengakomodasi kepengurusan hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie. Langkah Andi Mattalata dan Djasri Marin ini dipicu oleh langkah kubu Aburizal yang mengajukan kasasi.

Jauh sebelum munas digelar, kubu Agung dan Aburizal masih berupaya menyelesaikan masalah mereka ke pengadilan, persisnya di pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.

Tentu saja penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan itu tidak lagi sejalan dengan penyelesaian melalui jalur MPG. Namun, ketika Majelis Hakim PN Jakarta Utara sependapat dengan PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Barat untuk tidak terlibat lebih dalam dengan perselisihan internal di Partai Golkar, Munas 2016 tetap relevan untuk dibicarakan.

 

Hukum

Islah juga menjadi lebih relevan untuk dibicarakan ketika ajang pemilu kepala daerah secara serentak sudah di depan mata. Terlebih, hingga dua bulan sebelum pendaftaran peserta dibuka pada Juli mendatang, belum ada kata sepakat dari dua kubu terkait siapa yang lebih berhak mengikuti pilkada.

Proses di pengadilan sejauh ini menjadi tumpuan. Majelis hakim akhirnya didesak untuk segera memutuskan.

Seandainya ada putusan yang berkekuatan hukum tetap sebelum Juli 2015 pun, dampaknya belum tentu positif bagi Golkar dan kader mereka yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Hal ini tentunya juga akan dipertimbangkan oleh parpol lain yang hendak berkoalisi dengan Golkar dalam menghadapi pilkada serentak.

Mengapa? Karena perseteruan yang telanjur merembet ke daerah dalam bentuk musyawarah daerah (musda) juga telah "membelah" para kader Golkar di daerah.

Ketika salah satu kubu Golkar dimenangkan oleh pengadilan hingga memperoleh tiket untuk melaju di pilkada, belum tentu kader Golkar di suatu daerah—dari kubu lain—akan sepenuhnya mendukung calon itu.

Kondisi ini tentu telah dipikirkan matang-matang oleh kubu Munas Bali dan Munas Jakarta. Sikap mau menang sendiri hanya akan menjerumuskan Partai Golkar.

Kini, masih ada waktu bagi kedua kubu di Golkar untuk menggelar islah demi pilkada Desember mendatang. Demi kepentingan Golkar yang lebih luas, langkah ini perlu dipikirkan.

Apabila kedua kubu bisa sepakat untuk islah, segeralah islah tanpa ditunda-tunda. Kemudian, belajar dari praktik pada masa kepemimpinan Akbar Tandjung, gelar konvensi Golkar di tingkat daerah untuk mendapatkan calon kepala daerah terbaik.

Dengan cara ini, Golkar bisa berperan optimal dalam pilkada, bahkan untuk bangsa. Ini karena baik disadari maupun tidak, dua kubu yang saat ini ada di Partai Golkar sama-sama mempunyai pengikut jempolan yang masing-masing menjadi bintang di daerah asalnya. (HARYO DAMARDONO)

* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Mei 2015 dengan judul "Pilkada, Mahkamah Partai, dan Islah...".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yakin Presidential Club Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Yakin Presidential Club Sudah Didengar Megawati, Gerindra: PDI-P Tidak Keberatan

Nasional
Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum

Nasional
Gejala Korupsisme Masyarakat

Gejala Korupsisme Masyarakat

Nasional
KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

Nasional
PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

Nasional
Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Nasional
Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Nasional
Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com