KOMPAS - Pada Februari 2015, Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri duduk berdampingan saat pembukaan Musyawarah Nasional II Partai Hanura.
Selama hampir tiga jam acara itu berlangsung, Jokowi dan Megawati terlihat hanya sekali bercakap-cakap. Itu pun sangat singkat. Pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri diduga jadi "pengganggu" hubungan keduanya saat itu.
Hubungan Jokowi dengan Megawati juga membayangi Kongres IV PDI-P, awal April lalu. Apalagi, saat itu ada sejumlah isu, seperti PDI-P akan meninggalkan Jokowi dan PDI-P akan memanfaatkan kongres untuk menyerang Jokowi.
Namun, saat pembukaan kongres, bahasa tubuh Jokowi dan Megawati yang saat itu duduk berdampingan ternyata tak lagi dingin. Keduanya beberapa kali terlihat berbincang, diselingi senyum dan tawa.
Seusai pembukaan, Jokowi menyediakan waktu untuk bertemu dengan semua ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI-P. Selama sekitar tiga jam, pertemuan yang tertutup untuk media itu berlangsung.
"Pertemuan itu menjadi ajang melepas kangen sekaligus klarifikasi isu-isu negatif yang muncul di media," ujar Ketua DPD PDI-P Jawa Barat TB Hasanuddin.
Dalam pertemuan itu pula, para ketua DPD menyatakan komitmennya untuk mendukung pemerintahan JKW-JK.
Jokowi pun menyambut hangat dukungan itu. Di pertemuan tersebut, dia menjanjikan pertemuan setiap tiga bulan dengan semua ketua DPD PDI-P guna memperkokoh hubungan pemerintah dan PDI-P.
Pasca kongres PDI-P, pemerintah juga mengintensifkan pertemuan dengan partai politik pendukung pemerintah lainnya.
Politisi senior PDI-P, Pramono Anung, mengatakan, bukti kian kokohnya relasi ini terlihat saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diterima DPR untuk menjadi UU pada 24 April lalu tanpa kendala berarti.
Di era reformasi ini, hubungan antara pemerintah dan partai pendukung jadi penting karena turut menentukan jalannya pemerintahan. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dibentuk sekretariat gabungan partai koalisi guna menjaga komunikasi antara presiden dan partai pendukung.
Namun, sejumlah perbedaan pendapat antara partai pendukung dan pemerintah tetap mencuat keluar, seperti dalam kasus usulan hak angket mafia pajak pada 2011. Saat itu, Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang masuk dalam koalisi pemerintah mendukung hak angket itu. Padahal, pemerintah menolaknya. Pada 2012, Golkar dan PKS kembali menolak usulan pemerintah untuk menaikkan harga BBM.
Dinamika hubungan juga terjadi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Poros tengah, yang mendukung Gus Dur menjadi presiden di Sidang MPR 1999, diduga juga berperan dalam jatuhnya Gus Dur pada 2001.
Semoga sejarah dijadikan pelajaran yang berharga.... (AGE/APA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.