Di masa yang ditandai oleh menguatnya kultur hedonisme ini, tidak mudah bagi pemimpin menciptakan suatu, meminjam konsep teori pilihan rasional, struktur insentif yang mampu menjamin keseimbangan politik jangka panjang. Hal ini antara lain disebabkan bahwa insentif semakin dimaknai secara terbatas, sekadar sebagai uang dan kekuasaan.
Karisma atau kewibawaan pemimpin susah untuk mewujud ketika populisme kepemimpinan tidak dapat mempertahankan diri dari otentisitas. Keharusan untuk melakukan politik akomodasi terbatas di kalangan elite pendukung multispektrum, sering kali bertentangan dengan kehendak populer massa pendukung. Inilah problem pokok pemimpin populis.
Kompetisi kepentingan
Perilaku elite memang pada akhirnya memengaruhi jalannya kelembagaan. Sistem memang sudah mengatur sedemikian rupa bagaimana seharusnya lembaga-lembaga yang ada berperan sesuai dengan kewenangan. Namun, kompetisi kepentingan elite yang parsial dan jangka pendek membuat lembaga termanipulasi, kalau bukan terpenjara ke dalam konflik-konflik kepentingan elitenya. Karena itu, dapat dipahami manakala yang terjadi kini adalah bukan saja kecenderungan deinstitusionalisasi atau lemahnya kelembagaan, melainkan juga terbajaknya lembaga oleh kepentingan para elitenya. Para elite membuat peran dan fungsi kelembagaan menjadi kabur, kalau bukan lumpuh layuh.
Kalau demikian, mau tidak mau kita perlu membaca lagi wacana modernisasi politik yang menekankan penguatan kelembagaan sesuai dengan diferensiasi kewenangan masing-masing. Karena pilihan sistemnya demokrasi, maka kewenangan-kewenangan itu dilakukan dalam kerangka rasionalitas. Modernisasi ialah rasionalisasi. Sayangnya, dan inilah problem kita dewasa ini, lembaga-lembaga politik, birokrasi, dan hukum tampilkan dalam berbagai hal yang tidak rasional. Kita tengah mengalami krisis kemodernan dalam proses sosial politik. Tentu hal demikian dapat mempercepat proses kemerosotan, apabila tidak terjadi perubahan.
Kemerosotan politik berdampak pada, apa yang pernah disinggung Lee Kuan Yew, defisiensi demokrasi. Intinya, transisi ke arah konsolidasi demokrasi penuh dengan ancaman kegagalan, justru karena para elite tidak siap untuk melakukan proses-proses sosial dan politik secara efisien. Pemerintah mungkin tidak akan jatuh dengan mudah di dalam sistem yang aturan permakzulan presiden demikian ketat. Tetapi, kemerosotan politik ditandai oleh konflik-konflik semipermanen yang membelenggu perkembangan politik dan ekonomi nasional. Ini menandai fase stabilitas politik yang goyah dan juga ketidakpastian hukum yang langka.
Kita perlu mewaspadai gejala-gejala kemerosotan politik. Kendatipun barangkali masih jauh dari bayangan negara gagal (failure state), pekerjaan rumah untuk melakukan penataan kelembagaan oleh para elite yang menumpuk di masa kini, bagaimanapun, membutuhkan konsentrasi dan ikhtiar ke arah konsensus yang rasional dan elegan tanpa melawan kodrat agenda reformasi. Kewibawaan lembaga harus ditegakkan kembali justru dengan menyelesaikan masalah-masalah secara jernih dan tidak manipulatif.
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta