JAKARTA, KOMPAS.com — Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mempertanyakan penundaan eksekusi mati tahap selanjutnya terhadap para terpidana. Menurut dia, penundaan itu hanya akan memperburuk keadaan.
"Semakin lama kejaksaan menunda, semakin banyak tekanan dari luar negeri yang akan dihadapi Indonesia," kata Hikmahanto melalui keterangan tertulisnya, Minggu (22/2/2015).
Dia menilai, belakangan ini saja tekanan dari pihak luar terus gencar dilakukan. Terakhir, Presiden Brasil Dilma Rousseff menunda secara mendadak penyerahan credential Duta Besar RI untuk Brasil kepada Toto Riyanto.
Pembatalan penyerahan tersebut di saat Toto sudah berada di Istana Kepresidenan bersama dubes-dubes lain. (Baca: Kemenlu Protes Keras Penolakan Dubes RI oleh Presiden Brasil)
"Indonesia perlu menegaskan tidak seharusnya para gembong narkoba mendapat perlindungan dari negaranya yang pada saat bersamaan justru mengecam Indonesia atas pelaksanaan kedaulatan," ujar Hikmahanto.
Sebaliknya, lanjut dia, bila pelaksanaan hukuman mati dipercepat, tidak ada lagi manuver yang akan dilakukan oleh negara lain. Polemik terkait hukuman mati ini akan segera selesai dan Indonesia bisa membuktikan ketegasannya untuk memerangi narkoba.
"Agar tidak membebani Indonesia dan pemerintahan Jokowi, ada baiknya Kejaksaan Agung mempercepat pelaksanaan hukuman mati daripada menundanya," ujarnya. (Baca: JK: Kalau Australia Tak Anggap Bantuan Kemanusiaan, Kita Kembalikan Saja)
Menurut dia, tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk menunda hukuman mati. Pasalnya, Kejaksaan Agung saat ini mendapat suara dan dukungan yang kuat dari publik dan politisi untuk melaksanakan kewajibannya.
Terlebih lagi, Presiden Joko Widodo dalam setiap kesempatan tidak pernah terlihat akan mengubah kebijakannya soal hukuman mati terkait kasus narkotika meski mendapat protes dan kecaman negara lain. (Baca: Panglima TNI: Jangan Coba Ganggu Jalannya Eksekusi Mati dengan Cara Apa Pun)
"Bila penundaan dilakukan tanpa ada kepastian waktu, tidak saja Kejaksaan Agung mendapat kecaman dari publik dan politisi, tetapi tindakan itu juga akan membebani Presiden dan pemerintahan Jokowi," ujarnya.
Jaksa Agung HM Prasetyo sebelumnya mengatakan, selain fasilitas di Lembaga Permasayarakatan Nusakambangan yang belum siap, terpencarnya para terpidana mati membuat proses eksekusi tahap kedua belum dapat dilaksanakan. (Baca: Terpencar, Alasan Kejaksaan Agung Tunda Eksekusi Terpidana Mati)
Pemerintah Indonesia tetap akan melakukan eksekusi mati meskipun mendapat protes dari negara lain. Pada Januari 2015, kejaksaan sudah melakukan eksekusi terhadap enam terpidana mati kasus narkotika. Lima di antaranya ialah WNA, yakni dari Belanda, Malawi, Brasil, Nigeria, dan Vietnam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.