Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

100 Hari dan Orang-orang Kontroversial Pilihan Jokowi

Kompas.com - 28/01/2015, 11:36 WIB
Sabrina Asril

Penulis

Kompas.com/SABRINA ASRIL HM Prasetyo mendapat ucapan selamat dari Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla usai dilantik sebagai Jaksa Agung di istana negara, Kamis (20/11/2014).
Dari nama-nama itu, pencalonan Prasetyo mengundang pro dan kontra. Pasalnya, Kejaksaan Agung sebagai institusi hukum seharusnya diisi oleh pejabat yang netral dan tidak berasal dari partai politik. Tarik ulur kembali terjadi. 

Saat itu, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, lamanya Presiden menetapkan jaksa agung karena Presiden Jokowi ingin mencari "manusia setengah dewa" untuk memimpin korps Adhyaksa itu. Pelibatan KPK dan PPATK pun kembali diungkap.

Namun, hari-hari berikutnya, diketahui dua lembaga itu sama sekali tidak dilibatkan dalam proses seleksi jaksa agung. Peran Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh kembali terlihat. Dia mendatangi Istana pada 19 November 2014. Satu hari kemudian, Jokowi memutuskan melantik Prasetyo yang empat jam sebelumnya baru menyatakan resmi keluar dari Partai Nasdem.

Pelantikan yang serba mendadak pun sangat terasa. Molor dua jam, pelantikan Prasetyo hanya terlihat dihadiri sekitar 20 orang yang kebanyakan pegawai Istana.

3. Kapolri

Untuk ketiga kalinya, Presiden Jokowi kembali memilih sosok kontroversial untuk duduk di posisi strategis. Kali ini, Jokowi hanya mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Kepolisian RI. Pada tanggal 9 Januari 2015, Presiden Jokowi mengirimkan surat ke Dewan Perwakilan Rakyat terkait Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala Polri. Keputusan Jokowi mengganti posisi Sutarman yang masih aktif sebagai anggota Polri pun dipertanyakan. Sutarman baru akan memasuki masa pensiun pada Oktober 2015.

Penunjukan nama Budi Gunawan yang merupakan mantan ajudan Megawati ini juga tak melibatkan KPK dan PPATK. KPK langsung bereaksi dan menyatakan bahwa penunjukan Budi adalah kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK juga mengungkap nama Budi sempat "distabilo merah" saat seleksi menteri karena dicurigai memiliki rekening tak wajar.

Namun, Jokowi bergeming. Hingga pada 13 Januari 2015, Presiden Jokowi mengundang jajaran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) seolah untuk menjawab keraguan publik atas pencalonan Budi. Seusai bertemu Jokowi, Kompolnas pun memuji Budi Gunawan dan menyatakan Kepala Pendidikan Kepolisian itu sebagai calon yang "bersih". Kompolnas berpegang pada klarifikasi yang dilakukan Bareskrim Polri.

Hanya berselang sekitar satu jam dari jumpa pers itu, bagai petir di siang bolong, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Kompolnas pun dipersalahkan karena tak bisa memberikan pertimbangan yang valid kepada Presiden. Wibawa Presiden dipertaruhkan. Massa relawan Jokowi hingga para penggiat anti-korupsi bersuara meminta Jokowi membatalkan pencalonan Budi.

Di sisi lain, partai-partai koalisi, terutama Partai Nasdem dan PDI-P, seolah "kebakaran jenggot". Mereka menuding KPK yang tengah berpolitik. Kritik pedas juga dialamatkan mereka kepada Presiden Jokowi yang tak juga melantik Budi.

Presiden akhirnya mengambil jalan tengah dengan menunda pelantikan Budi dan menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kepala Polri. Hingga kini, status Budi masih terkatung-katung karena pelantikannya ditunda.

Posisi Jokowi semakin sulit karena "menggantungnya" status Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri dinilai memicu konflik antara dua lembaga. Bagai aksi saling balas, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Hal ini yang kemudian memunculkan istilah "Cicak vs Buaya jilid III".

4. Dewan Pertimbangan Presiden

Di tengah isu panas soal Budi Gunawan, Presiden Jokowi melantik Dewan Pertimbangan Presiden yang didominasi perwakilan partai politik atau orang dekat elite parpol. Jokowi kembali dikecam karena dianggap tak mampu lepas dari bayang-bayang partai politik.

Adapun sembilan orang yang dilantik Jokowi sebagai Wantimpres pada 19 Januari lalu adalah Sidarto Danusubroto (PDI-P), Suharso Monoarfa (PPP), Jan Darmadi (Nasdem), Rusdi Kirana (PKB), Yusuf Kartanegara (PKPI), Subagyo Hadi Siswoyo (Hanura), Abdul Malik Fadjar (Muhammadiyah), Sri Adiningsih (ekonom yang dikenal dekat dengan Megawati), dan Hasyim Muzadi (NU).

Mereka yang dilantik pun tak serta-merta melepaskan diri dari jabatannya di partai politik. Padahal, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, mereka harus menanggalkan jabatan politik di partai seperti yang dilakukan para menteri.

Suharso, misalnya, dia masih aktif sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PPP.

"Tidak ada keharusan karena di undang-undang itu pemimpin partai," kata dia.

Demikian pula Jan Darmadi yang masih aktif menghadiri rapat Partai Nasdem sebagai Ketua Majelis Tinggi. Sementara itu, Sidarto masih menjadi Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI-P. Ia mengaku baru akan mengundurkan diri saat pelaksanaan Kongres PDI-P bulan April mendatang.

Masalah timbul saat konflik antara KPK dan Polri mencuat. Wantimpres dituntut memberikan saran kepada Presiden. Nada miring terhadap peran Wantimpres muncul karena Presiden Jokowi justru lebih membentuk tim ad hoc seperti tim independen untuk kasus konflik dua lembaga itu. Andi Widjajanto mengakui, alasan pembentukan tim independen karena banyak anggota Wantimpres yang tidak kompeten dalam mengatasi konflik KPK-Polri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Nasional
KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

Nasional
Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Nasional
KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

Nasional
KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

Nasional
Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Nasional
Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

Nasional
Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nostalgia Ikut Pilpres 2024, Mahfud: Kenangan Indah

Nasional
Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Gibran Beri Sinyal Kabinet Bakal Banyak Diisi Kalangan Profesional

Nasional
Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Menag Bertolak ke Saudi, Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Ide "Presidential Club" Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Nasional
Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Nasional
BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

Nasional
Luhut Ingatkan soal Orang 'Toxic', Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Luhut Ingatkan soal Orang "Toxic", Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com