Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

100 Hari dan Orang-orang Kontroversial Pilihan Jokowi

Kompas.com - 28/01/2015, 11:36 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menginjak 100 hari, Rabu (28/1/2015). Dari sisi usia, memang masih prematur, tetapi dalam 100 hari ini, tantangan, rintangan, serta hal-hal kontroversi mewarnai pemerintahan Jokowi-JK.

Kegaduhan politik di parlemen antara dua koalisi turut mengawali perjalanan Jokowi-JK dalam memimpin negeri. Kegaduhan tak hanya datang dari Senayan, terkadang juga datang dari Istana. Beberapa kali, keputusan Jokowi membuat publik mengernyitkan dahi. Orang-orang pilihannya di sejumlah posisi strategis di luar prediksi. Janji tidak adanya bagi-bagi kursi yang diusung Jokowi saat pemilihan presiden lalu seakan seperti tak pernah terlontar. Pada akhirnya, Jokowi memang tak bisa melepaskan diri dari pragmatisme politik.

Siapa saja orang pilihan Jokowi yang memicu kontroversi?

1. Pilihan menteri di Kabinet Kerja

Sejak dilantik pada 20 Oktober, Jokowi bersama Jusuf Kalla langsung "tancap gas" melakukan seleksi menteri. Proses yang dilakukan Jokowi-JK menjaring menteri menarik perhatian dan apresiasi publik. Jokowi melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam memilih para pembantunya.

Namun, bagai buah simalakama, pelibatan KPK dan PPATK justru yang membuat Jokowi pusing tujuh keliling. Pasalnya, KPK "menstabilo merah" sejumlah nama karena dinilai berpotensi terlibat dalam perkara hukum. Berhari-hari Jokowi tak meninggalkan Istana. Ia memilih berdiam diri. Pada saat yang sama, tekanan politik dari partai-partai koalisi yang menuntut "bagian" tak terelakkan.

Tamu-tamu penting kemudian silih berganti mendatangi Istana. Tujuannya tentu terkait nama-nama menteri itu. Mereka yang terlihat menyambangi Istana kala itu, di antaranya, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar.

Setelah tarik ulur cukup lama, pada 26 Oktober 2014, Jokowi bersama JK memutuskan mengumumkan susunan kabinet yang disebutnya Kabinet Kerja di halaman tengah Istana. Suasana pengumuman bisa dibilang sangat cair dan santai. Para menteri diwajibkan mengenakan kemeja berwarna putih yang menjadi ciri khas Jokowi saat datang ke Istana. Kemeja putih ini dipilih Jokowi sebagai simbol kerja.

TRIBUN NEWS / DANY PERMANA Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berfoto bersama para menteri Kabinet kerja di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (26/10/2014).
Setelah diumumkan, komposisi kabinet terdiri dari 18 orang berasal dari profesional dan 16 orang dari kalangan partai politik. Meski jumlah politisi berlatar belakang parpol yang menjadi menteri lebih sedikit dibandingkan kalangan profesional, para profesional ini ada yang dikenal dekat dengan elite partai. Sebut saja Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri BUMN Rini Soemarno yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan Megawati.

Sejumlah nama juga sempat menuai tanda tanya karena dianggap tidak sesuai kompetensinya, misalnya Puan Maharani, yang merupakan anak dari Megawati Soekarnoputri. Puan yang selama ini aktif di Dewan Perwakilan Rakyat dianggap tidak cakap menjadi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).

Ada pula yang mempertanyakan kompetensi Siti Nurbaya, politisi Partai Nasdem, yang didaulat sebagai Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Siti selama ini dikenal sebagai pegawai negeri sipil karier yang sempat menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Sekjen Dewan Perwakilan Daerah. 

Keraguan juga sempat disematkan kepada Saleh Husin, politisi Partai Hanura, yang ditempatkan sebagai Menteri Perindustrian. Saat itu, banyak pengamat yang menilai posisi Menteri Perindustrian seharusnya dijabat pengusaha Rachmat Gobel yang justru menjadi Menteri Perdagangan.

Meski menuai kritik, Kabinet Kerja tetap dilantik pada 27 Oktober. Pada hari yang sama, semua menteri menghadiri sidang kabinet paripurna perdana. Hingga 100 hari ini, beberapa menteri ada yang terlihat menonjol dengan kebijakan-kebijakan inovatif, ada pula yang masih "adem ayem".

2. Jaksa agung

Selesai dengan kontroversi seleksi menteri, Jokowi harus dihadapkan pada pemilihan jaksa agung yang selama ini dijabat oleh pelaksana tugas. Kejaksaan harus memiliki pemimpin yang definitif demi memperlancar penegakan hukum. Sejumlah nama mencuat ke publik sebagai calon jaksa agung, seperti mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen HM Prasetyo yang juga politisi Partai Nasdem, mantan Kepala PPATK Yunus Husein, hingga Kepala PPATK M Yusuf.

Kompas.com/SABRINA ASRIL HM Prasetyo mendapat ucapan selamat dari Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla usai dilantik sebagai Jaksa Agung di istana negara, Kamis (20/11/2014).
Dari nama-nama itu, pencalonan Prasetyo mengundang pro dan kontra. Pasalnya, Kejaksaan Agung sebagai institusi hukum seharusnya diisi oleh pejabat yang netral dan tidak berasal dari partai politik. Tarik ulur kembali terjadi. 

Saat itu, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, lamanya Presiden menetapkan jaksa agung karena Presiden Jokowi ingin mencari "manusia setengah dewa" untuk memimpin korps Adhyaksa itu. Pelibatan KPK dan PPATK pun kembali diungkap.

Namun, hari-hari berikutnya, diketahui dua lembaga itu sama sekali tidak dilibatkan dalam proses seleksi jaksa agung. Peran Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh kembali terlihat. Dia mendatangi Istana pada 19 November 2014. Satu hari kemudian, Jokowi memutuskan melantik Prasetyo yang empat jam sebelumnya baru menyatakan resmi keluar dari Partai Nasdem.

Pelantikan yang serba mendadak pun sangat terasa. Molor dua jam, pelantikan Prasetyo hanya terlihat dihadiri sekitar 20 orang yang kebanyakan pegawai Istana.

3. Kapolri

Untuk ketiga kalinya, Presiden Jokowi kembali memilih sosok kontroversial untuk duduk di posisi strategis. Kali ini, Jokowi hanya mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Kepolisian RI. Pada tanggal 9 Januari 2015, Presiden Jokowi mengirimkan surat ke Dewan Perwakilan Rakyat terkait Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala Polri. Keputusan Jokowi mengganti posisi Sutarman yang masih aktif sebagai anggota Polri pun dipertanyakan. Sutarman baru akan memasuki masa pensiun pada Oktober 2015.

Penunjukan nama Budi Gunawan yang merupakan mantan ajudan Megawati ini juga tak melibatkan KPK dan PPATK. KPK langsung bereaksi dan menyatakan bahwa penunjukan Budi adalah kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK juga mengungkap nama Budi sempat "distabilo merah" saat seleksi menteri karena dicurigai memiliki rekening tak wajar.

Namun, Jokowi bergeming. Hingga pada 13 Januari 2015, Presiden Jokowi mengundang jajaran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) seolah untuk menjawab keraguan publik atas pencalonan Budi. Seusai bertemu Jokowi, Kompolnas pun memuji Budi Gunawan dan menyatakan Kepala Pendidikan Kepolisian itu sebagai calon yang "bersih". Kompolnas berpegang pada klarifikasi yang dilakukan Bareskrim Polri.

Hanya berselang sekitar satu jam dari jumpa pers itu, bagai petir di siang bolong, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Kompolnas pun dipersalahkan karena tak bisa memberikan pertimbangan yang valid kepada Presiden. Wibawa Presiden dipertaruhkan. Massa relawan Jokowi hingga para penggiat anti-korupsi bersuara meminta Jokowi membatalkan pencalonan Budi.

Di sisi lain, partai-partai koalisi, terutama Partai Nasdem dan PDI-P, seolah "kebakaran jenggot". Mereka menuding KPK yang tengah berpolitik. Kritik pedas juga dialamatkan mereka kepada Presiden Jokowi yang tak juga melantik Budi.

Presiden akhirnya mengambil jalan tengah dengan menunda pelantikan Budi dan menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kepala Polri. Hingga kini, status Budi masih terkatung-katung karena pelantikannya ditunda.

Posisi Jokowi semakin sulit karena "menggantungnya" status Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri dinilai memicu konflik antara dua lembaga. Bagai aksi saling balas, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Hal ini yang kemudian memunculkan istilah "Cicak vs Buaya jilid III".

4. Dewan Pertimbangan Presiden

Di tengah isu panas soal Budi Gunawan, Presiden Jokowi melantik Dewan Pertimbangan Presiden yang didominasi perwakilan partai politik atau orang dekat elite parpol. Jokowi kembali dikecam karena dianggap tak mampu lepas dari bayang-bayang partai politik.

Adapun sembilan orang yang dilantik Jokowi sebagai Wantimpres pada 19 Januari lalu adalah Sidarto Danusubroto (PDI-P), Suharso Monoarfa (PPP), Jan Darmadi (Nasdem), Rusdi Kirana (PKB), Yusuf Kartanegara (PKPI), Subagyo Hadi Siswoyo (Hanura), Abdul Malik Fadjar (Muhammadiyah), Sri Adiningsih (ekonom yang dikenal dekat dengan Megawati), dan Hasyim Muzadi (NU).

Mereka yang dilantik pun tak serta-merta melepaskan diri dari jabatannya di partai politik. Padahal, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, mereka harus menanggalkan jabatan politik di partai seperti yang dilakukan para menteri.

Suharso, misalnya, dia masih aktif sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PPP.

"Tidak ada keharusan karena di undang-undang itu pemimpin partai," kata dia.

Demikian pula Jan Darmadi yang masih aktif menghadiri rapat Partai Nasdem sebagai Ketua Majelis Tinggi. Sementara itu, Sidarto masih menjadi Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI-P. Ia mengaku baru akan mengundurkan diri saat pelaksanaan Kongres PDI-P bulan April mendatang.

Masalah timbul saat konflik antara KPK dan Polri mencuat. Wantimpres dituntut memberikan saran kepada Presiden. Nada miring terhadap peran Wantimpres muncul karena Presiden Jokowi justru lebih membentuk tim ad hoc seperti tim independen untuk kasus konflik dua lembaga itu. Andi Widjajanto mengakui, alasan pembentukan tim independen karena banyak anggota Wantimpres yang tidak kompeten dalam mengatasi konflik KPK-Polri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com