Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengawal Profesionalisme Aparatur Sipil

Kompas.com - 21/01/2015, 14:04 WIB


Oleh: A Ponco Anggoro

JAKARTA, KOMPAS - Sudah bukan rahasia, pengisian jabatan pimpinan tinggi di pemerintahan kerap menjadi permainan sang pemimpin. Aparatur sipil negara yang lemah posisinya, mau tidak mau, harus menanggalkan profesionalismenya. Segala cara dilakukan untuk menyenangkan pemimpin, hanya untuk menjadi pejabat.

Menjelang berakhirnya masa tugas seorang pejabat atau setelah terpilih menjadi menteri/kepala lembaga atau kepala daerah, pergantian pejabat pimpinan tinggi di kementerian/lembaga/pemerintah daerah (pemda) adalah hal yang biasa disaksikan publik.

Di level pemerintah pusat, menteri/kepala lembaga biasanya mengganti sekretaris jenderal; direktur jenderal; deputi; atau pimpinan tinggi utama, madya, dan pratama lainnya. Adapun di daerah, kepala daerah memilih orang-orang baru menduduki jabatan kepala dinas atau pimpinan tinggi lainnya. Proses pergantian gerbong memang lumrah terjadi ketika pemimpin pucuknya juga baru.

Alasan pergantian yang sering diungkapkan bahwa pergantian adalah rotasi yang biasa dilakukan di pemerintahan. Rotasi merupakan hal rutin dalam suatu birokrasi. Namun, di balik itu, publik sebenarnya juga sudah tahu bahwa para pejabat baru tersebut sesungguhnya merupakan orang-orang dekat menteri/kepala lembaga/kepala daerah.

Karena itu, tidak heran jika mereka yang terpilih bukanlah orang yang tepat dan kompeten di posisinya, karena dasarnya kedekatan. Bahkan, tidak jarang terjadi integritas atau status orang-orang baru tersebut diabaikan begitu saja. Tidak peduli mereka sedang bermasalah dengan hukum, menjadi tersangka terutama dalam kasus-kasus korupsi, terdakwa atau residivis dari satu kasus hukum, mereka tetap saja dipilih oleh sang pemimpin.

"Politik balas budi, dan sebaliknya, politik balas dendam, sangat masif terjadi," ujar Kepala Pusat Pembinaan Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara Anwar Sanusi.

Artinya, mereka yang dianggap berjasa oleh pemimpin dipilih menjadi pejabat. Jasa ini seringkali tidak dalam bentuk pekerjaan yang menjadi tugas aparatur sipil negara (ASN). Akan tetapi, dalam bentuk lain, seperti rajin memberi upeti atau menyokong dana saat kampanye calon kepala daerah. Sebaliknya, mereka yang tidak "berjasa" atau tidak sejalan dengan "kepentingan" pemimpin, ya, harus rela tersingkir.

Di luar politik balas budi dan balas dendam, pemilihan pejabat pimpinan tinggi sering pula hanya berdasarkan pertimbangan primordial atau karena orang tersebut termasuk kerabat dari pemimpin.

Cegah demotivasi

Jika hal itu dibiarkan, demotivasi tentu akan terjadi pada ASN. ASN akhirnya tidak akan maksimal menjalankan tugasnya karena pemimpin tidak akan melihat kinerja mereka.

Politisasi ASN dan demotivasi ASN itulah yang ingin dicegah dengan disahkannya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, 15 Januari 2014. UU ASN ingin ASN memiliki integritas, profesional, bebas dari intervensi politik, dan bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. UU ASN juga ingin mereka yang mengisi jabatan pimpinan tinggi adalah orang-orang yang tepat dan kompeten di posisinya.

Salah satu cara mewujudkan semua itu adalah pengisian jabatan pimpinan tinggi harus melalui perekrutan terbuka. Tidak bisa lagi asal tunjuk, sesuai kehendak hati, menteri/kepala lembaga/kepala daerah.

Dalam proses perekrutan terbuka tersebut para calon harus diseleksi oleh panitia seleksi yang terdiri dari unsur internal dan eksternal. Calon juga tidak dibatasi harus berasal dari instansi pemerintahan yang bersangkutan, tetapi bisa ASN dari instansi pemerintahan lainnya.

Dalam membentuk panitia seleksi, sesuai Pasal 110 Ayat 2 UU ASN, pejabat pembina kepegawaian (menteri/kepala lembaga/gubernur/wali kota/bupati) berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Dengan begitu, KASN yang diamanahkan dibentuk UU ASN bisa mengawasi proses seleksi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com