Oleh: A Ponco Anggoro
JAKARTA, KOMPAS - Sudah bukan rahasia, pengisian jabatan pimpinan tinggi di pemerintahan kerap menjadi permainan sang pemimpin. Aparatur sipil negara yang lemah posisinya, mau tidak mau, harus menanggalkan profesionalismenya. Segala cara dilakukan untuk menyenangkan pemimpin, hanya untuk menjadi pejabat.
Menjelang berakhirnya masa tugas seorang pejabat atau setelah terpilih menjadi menteri/kepala lembaga atau kepala daerah, pergantian pejabat pimpinan tinggi di kementerian/lembaga/pemerintah daerah (pemda) adalah hal yang biasa disaksikan publik.
Di level pemerintah pusat, menteri/kepala lembaga biasanya mengganti sekretaris jenderal; direktur jenderal; deputi; atau pimpinan tinggi utama, madya, dan pratama lainnya. Adapun di daerah, kepala daerah memilih orang-orang baru menduduki jabatan kepala dinas atau pimpinan tinggi lainnya. Proses pergantian gerbong memang lumrah terjadi ketika pemimpin pucuknya juga baru.
Alasan pergantian yang sering diungkapkan bahwa pergantian adalah rotasi yang biasa dilakukan di pemerintahan. Rotasi merupakan hal rutin dalam suatu birokrasi. Namun, di balik itu, publik sebenarnya juga sudah tahu bahwa para pejabat baru tersebut sesungguhnya merupakan orang-orang dekat menteri/kepala lembaga/kepala daerah.
Karena itu, tidak heran jika mereka yang terpilih bukanlah orang yang tepat dan kompeten di posisinya, karena dasarnya kedekatan. Bahkan, tidak jarang terjadi integritas atau status orang-orang baru tersebut diabaikan begitu saja. Tidak peduli mereka sedang bermasalah dengan hukum, menjadi tersangka terutama dalam kasus-kasus korupsi, terdakwa atau residivis dari satu kasus hukum, mereka tetap saja dipilih oleh sang pemimpin.
"Politik balas budi, dan sebaliknya, politik balas dendam, sangat masif terjadi," ujar Kepala Pusat Pembinaan Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara Anwar Sanusi.
Artinya, mereka yang dianggap berjasa oleh pemimpin dipilih menjadi pejabat. Jasa ini seringkali tidak dalam bentuk pekerjaan yang menjadi tugas aparatur sipil negara (ASN). Akan tetapi, dalam bentuk lain, seperti rajin memberi upeti atau menyokong dana saat kampanye calon kepala daerah. Sebaliknya, mereka yang tidak "berjasa" atau tidak sejalan dengan "kepentingan" pemimpin, ya, harus rela tersingkir.
Di luar politik balas budi dan balas dendam, pemilihan pejabat pimpinan tinggi sering pula hanya berdasarkan pertimbangan primordial atau karena orang tersebut termasuk kerabat dari pemimpin.
Cegah demotivasi
Jika hal itu dibiarkan, demotivasi tentu akan terjadi pada ASN. ASN akhirnya tidak akan maksimal menjalankan tugasnya karena pemimpin tidak akan melihat kinerja mereka.
Politisasi ASN dan demotivasi ASN itulah yang ingin dicegah dengan disahkannya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, 15 Januari 2014. UU ASN ingin ASN memiliki integritas, profesional, bebas dari intervensi politik, dan bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. UU ASN juga ingin mereka yang mengisi jabatan pimpinan tinggi adalah orang-orang yang tepat dan kompeten di posisinya.
Salah satu cara mewujudkan semua itu adalah pengisian jabatan pimpinan tinggi harus melalui perekrutan terbuka. Tidak bisa lagi asal tunjuk, sesuai kehendak hati, menteri/kepala lembaga/kepala daerah.
Dalam proses perekrutan terbuka tersebut para calon harus diseleksi oleh panitia seleksi yang terdiri dari unsur internal dan eksternal. Calon juga tidak dibatasi harus berasal dari instansi pemerintahan yang bersangkutan, tetapi bisa ASN dari instansi pemerintahan lainnya.
Dalam membentuk panitia seleksi, sesuai Pasal 110 Ayat 2 UU ASN, pejabat pembina kepegawaian (menteri/kepala lembaga/gubernur/wali kota/bupati) berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Dengan begitu, KASN yang diamanahkan dibentuk UU ASN bisa mengawasi proses seleksi.
Jika menemukan ada pelanggaran, KASN dapat merekomendasikan kepada presiden untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat pembina kepegawaian. Sanksi tersebut berupa peringatan serta teguran atau pencabutan dan pembatalan keputusan.
Salahi ketentuan
KASN telah mulai bertugas sejak Ketua KASN Sofian Effendi dan enam anggota KASN lainnya diangkat mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 30 September 2014. Sosialisasi terhadap lembaga ini sekaligus UU ASN sudah berulangkali dilakukan ke kementerian/lembaga dan pemda.
"Meski demikian, masih saja ada yang pura-pura tidak tahu soal UU ASN dan keberadaan KASN," ujar Sofian Effendi.
Mengikuti pemberitaan media massa dan laporan dari masyarakat, KASN menemukan sejumlah kementerian/lembaga dan pemda yang diduga menyalahi ketentuan di UU ASN, terutama dalam pengisian jabatan pimpinan tinggi. Beberapa di antaranya telah terbukti bersalah, dan pengisian jabatan pun direkomendasikan diulang, seperti kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta jabatan di Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara.
Tidak sebatas mengawasi pengisian jabatan pimpinan tinggi, KASN juga akan mengawasi proses rotasi dan mutasi ASN. Segala tindak-tanduk ASN, dari sisi kode etik dan kode perilaku ASN, pun masuk dalam lingkup pengawasan yang dilakukan KASN.
"Oleh karena pegawai kami masih terbatas, kami masih pasif, belum maksimal menjalankan tugas, kami menindaklanjuti laporan masyarakat dan pemberitaan media. Namun, nanti setelah jumlah pegawai sudah banyak, kami akan lebih aktif, bahkan turun juga ke daerah untuk mengawasi," kata Sofian.
Saat ini, jumlah pegawai yang membantu KASN hanya sepuluh orang. Sebagian besar di antaranya pegawai Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Ke depan, Sofian merencanakan merekrut hingga 200 pegawai, di antaranya adalah auditor penyidik dan analis. Kantor KASN juga masih numpang di ruangan Kemenpan RB yang pernah digunakan Wakil Menpan RB Eko Prasojo.
Menurut Anwar, adanya KASN sebagai pengawas bisa menutup celah politisasi birokrasi kembali terjadi. Hanya saja mengemban tugas itu tidak mudah, karena banyaknya ASN yang harus diawasi. Saat ini, ada 4,7 juta ASN yang tersebar di 34 kementerian, 34 provinsi, 508 kabupaten/kota, dan puluhan lembaga pemerintah non-kementerian dan lembaga non-struktural.
Karena itu, yang penting dibangun adalah kesadaran dari setiap pejabat pembina kepegawaian di setiap instansi pemerintahan, dan tentunya ASN itu sendiri. Pasalnya, sudah menjadi tuntutan publik agar ASN bekerja secara profesional. Dengan profesionalisme tinggi, pelayanan kepada publik pasti lebih maksimal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.