Penyelam yang berasal dari Komando Pasukan Katak, Marinir, dan Dinas Selam Bawah Air sudah mulai melakukan penyelaman pada Minggu (4/1/2015) dan baru berhasil mengangkat ekor pesawat pada Sabtu (9/1/2015) lalu. Ada sejumlah tahap dan rintangan yang harus dilalui oleh para penyelam yang berjumlah 57 orang ini.
Pada Sabtu siang, setelah proses pengangkatan ekor pesawat ke kapal Crest Onyx berhasil dilakukan, saya—reporter Kompas.com, Ihsanuddin—turut merasakan sebagian kecil kesulitan yang dirasakan oleh para penyelam selama ini. Saya yang sedang berada di KRI Banda Aceh hendak melihat dan mendokumentasikan dari dekat seperti apa bentuk ekor pesawat yang sempat hilang kontak pada 28 Desember lalu itu.
Saya dan beberapa awak media lain pun akhirnya memutuskan untuk berpindah dari KRI Banda Aceh ke kapal Crest Onyx yang berjarak sekitar 500 meter dengan menggunakan perahu karet.
Ombak yang tinggi langsung menyambut saya ketika menginjakkan kaki di atas perahu karet. Dari KRI Banda Aceh yang berukuran sangat luas, ombak memang cukup terasa menggoyangkan kapal, tetapi tidak terlihat tinggi menjulang.
Bedanya, saat itu saya ditemani oleh tiga pasukan penyelam terlatih yang bisa menyelamatkan saya jika terjadi hal yang tidak diinginkan, bukan harimau yang justru makin membahayakan nyawa saya.
"Oh begini ternyata ombak setinggi empat meter, ternyata beneran ya. Kalau dari atas kapal (KRI Banda Aceh), kelihatannya ombaknya kecil," ujar saya kepada para penyelam, yang hanya dibalas senyum oleh mereka.
Sesekali, ombak sangat besar masuk menghantam bagian dalam perahu karet dan seisi penumpangnya. Untungnya, saya dan teman-teman wartawan lainnya sudah diperingatkan untuk membungkus kamera kami dengan kantong plastik.
Perjalanan dari KRI Banda Aceh menuju kapal Crest Onyx yang hanya berjarak 500 meter terasa sangat lama. Setiap meter perahu karet melaju, setiap meter itu pula ombak datang menghantam.
"Wah, gila ombaknya, kapal Crest Onyx sampai enggak kelihatan," kata Azhari, salah satu juru kamera televisi nasional.
Anak tangga dari kayu
Ombak memang menjadi hambatan tersendiri bagi penyelam untuk bergerak bebas di permukaan air dengan perahu karet mereka. Namun, menurut saya, bagian paling berisiko adalah menaiki anak tangga dari kayu yang dijuntaikan dari lantai tiga KRI Banda Aceh ke perahu karet yang menunggu di atas permukaan air.
Dari awal, Komandan Gugus Kemanan Laut Barat Laksma TNI Abdul Rasyid sudah mengingatkan saya dan wartawan lain untuk membatalkan niat menyeberang ke kapal Crest Onyx karena anak tangga itu.
"Berbahaya itu, coba lihat dulu tangganya, berani atau enggak? Jangan sampai kita men-SAR wartawan juga," kata Rasyid.
Beberapa awak media akhirnya mundur setelah mendengar peringatan dari Rasyid. Pengamanan tambahan juga diberikan berupa tali yang dicantolkan ke bagian pelampung saya.
Namun, perasaan takut dan deg-degan tetap ada karena angin yang kencang membuat anak tangga bergoyang cukup kuat ke kiri dan kanan. Setelah mencapai anak tangga bagian bawah, saya juga harus sedikit meloncat kecil perahu karet karena ombak yang kencang membuat perahu tersebut tidak bisa diam di tempatnya.
Untungnya, salah satu penyelam sudah siap untuk menyambut saya yang hampir terpeleset di perahu karet. Turun-naik anak tangga dari kayu dan terombang-ambing di lautan ombak dengan perahu karet tentunya hanya sebagian kecil rintangan yang harus dilalui penyelam setelah menyelam ke dalam air.
Perjuangan penyelam
Dua rintangan yang sudah saya lewati seakan terbayarkan saat saya menjejakkan kaki ke kapal Crest Onyx. Saat saya menginjakkan kaki di anak tangga, cukup terasa bahwa tangga ini sebenarnya kokoh dan aman. Selama berpegangan kuat ke tali dan tidak terlepas, maka saya tidak akan jatuh ke air.
Bangkai ekor pesawat AirAsia sepanjang 7 meter bisa saya lihat dan saya ambil gambarnya dengan jelas. Saat melihat ekor itu, terlintas pula perjuangan para penyelam yang tidak hanya menemukan, tetapi juga berhasil mengangkat ekor pesawat itu. Meskipun demikian, keberadaan black box atau kotak hitam di ekor pesawat itu masih dipertanyakan.
"Begitu pesawat itu terangkat, wah legalah rasanya. Kita di perahu karet langsung pelukan, terharu akhirnya berhasil juga," cerita Kapten Wido Dwi, Komandan Tim Kopaska.
"Rasanya beda kalau Panglima TNI langsung yang mengunjungi," ujarnya.
Panglima ikut merasakan
Moeldoko yang juga naik perahu karet dari KRI Banda Aceh ke kapal Crest Onyx rupanya ikut merasakan bagaimana prajuritnya sudah bekerja keras dalam operasi SAR ini.
Dia akhirnya mengerti penyelaman tidak bisa dilakukan dengan mudah.
"Saya merasakan apa yang dilakukan prajurit melewati rintangan. Saya coba dari Banda Aceh ke Crest Onyx, ombaknya luar biasa," ujar Moeldoko, masih dengan bajunya yang basah terhantam ombak.
Moeldoko pun berterima kasih kepada seluruh tim, khususnya kepada para penyelam. Moeldoko menjanjikan mereka akan mendapat kenaikan pangkat.
"Saya atas nama negara memberikan kenaikan pangkat kepada kalian semuanya, kerja kalian luar biasa," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.