Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koruptor dengan Vonis Tertinggi Tahun 2014, dari Akil hingga Budi Mulya

Kompas.com - 31/12/2014, 15:57 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menjerat sejumlah penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi di tahun 2014. Modus mereka beragam, mulai dari penyalahgunaan wewenang, menerima suap, hingga pencucian uang.
Beberapa dari mereka pun sudah dijatuhkan vonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Sepanjang sejarah KPK, hukuman bagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait kasus suap penanganan sengketa Pilkada di MK menjadi salah satu capaian tertinggi. Akil Divonis seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, kemudian diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Selain Akil, ada juga sejumlah koruptor lain yang divonis lebih lama dari koruptor lainnya karena korupsi yang dilakukannya dianggap kasus berat dan menyebabkan kerugian negara yang besar. Berikut lima vonis tertinggi yang diputuskan selama tahun 2014:

1. Vonis Seumur Hidup Akil Mochtar

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan tetap menghukum mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dengan pidana penjara seumur hidup. Pengadilan tinggi menolak banding Akil dan menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terkait kasus suap penanganan sengketa Pilkada di MK dan pencucian uang.

Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan pertama, yaitu terkait penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).

Selain itu, Akil juga menerima suap sebagaimana dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).

Akil pun terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.

2. Vonis 18 Tahun Luthfi Hasan Ishaaq

Mahkamah Agung memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Dalam putusan kasasinya, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik. Luthfi terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman melalui Ahmad Fathanah.

Dalam percakapan telepon, Luhtfi telah menyanggupi membantu pengurusan penambahan kuota daging sebanyak 8.000 ton dengan komitmen fee Rp 5.000 per kilogram sehingga total Rp 40 miliar. Uang Rp 1,3 miliar tersebut merupakan bagian dari Rp 40 miliar.

Terbukti, Luthfi sempat mengusahakan pertemuan antara Elizabeth dan Menteri Pertanian Suswono. Luthfi juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjabat anggota DPR periode 2004-2009 dan setelahnya.

3. Vonis 16 Tahun Ahmad Fathanah

Setali tiga uang dengan teman dekatnya, Luthfi Hasan, Ahmad Fathanah juga mengajukan banding atas vonis hakim. Namun, permohonan banding itu ditolak Mahkamah Agung. Bahkan, hukuman untuk Fathanah pun diperberat, dari 14 tahun menjadi 16 tahun. Fathanah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait kuota impor daging sapi.

Ia dianggap bersama-sama Luthfi menerima uang Rp 1,3 miliar dari Direktur PT Indoguna Utama terkait kepengurusan kuota impor daging sapi. Fathanah juga terbukti membayarkan, mentransfer, membelanjakan, dan menukarkan mata uang dengan menggunakan dua rekeningnya dan uang tunai dengan seluruh transaksi mencapai Rp 38,709 miliar pada Januari 2011-2013. Namun, Fathanah tidak terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan ketiga, Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com