MANGGAR, KOMPAS.com — Minggu (28/12/2014) pukul 10.00 WIB. Dalam running text salah satu stasiun televisi swasta tertulis, "Pesawat AirAsia Rute Surabaya-Singapura Hilang Kontak dengan Menara ATC". Potongan pendek peristiwa ini mengawali sebuah "misi" pencarian ke tengah lautan.
Dalam hitungan menit dan jam, semua peristiwa berkelebat. Kementerian Perhubungan mengonfirmasi kabar tersebut. Direktur Angkutan Udara Kemenhub Djoko Murjatmojo langsung menggelar konferensi pers soal hal itu di Kantor Otoritas Bandara Soekarno-Hatta, Minggu siang.
Kami, para wartawan, juga langsung bak anai-anai yang disebar ke sejumlah lokasi, dari Surabaya sampai Belitung. Saya yang berbasis penugasan di Jakarta mendapat tugas untuk ikut tim khusus dari Badan SAR Nasional untuk mencari pesawat AirAsia QZ8501 yang hilang dalam penerbangan dari Surabaya ke Singapura tersebut.
Perkiraan awal Basarnas berdasarkan data komunikasi terakhir dan prakiraan cuaca, pesawat berada di perairan Belitung. Koordinat awal yang menjadi tujuan pencarian adalah 03.22.46 Lintang Selatan (LS) dan 108.50.07 Bujur Timur (BT).
Lima kapal Basarnas bertolak ke kawasan tersebut. Saya ikut Kapal Negara 224 (KN 224), yang angkat sauh dari Dermaga Kalijabat, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Minggu selepas ashar. Hingga 12 jam ke depan, hanya ada air laut di depan mata kami.
Di atas kapal
Bagi anggota tim Basarnas, perjalanan setengah hari penuh tersebut bukan persoalan besar. Namun, bagi kami para wartawan—terutama yang baru mengikuti peliputan semacam ini—beragam persoalan langsung menjadi tantangan. Tak ada tempat untuk berbelok dari tujuan, tentu saja.
Dua belas jam terombang-ambing di laut bagi kami adalah sebuah cerita baru. Terlebih lagi, kebanyakan dari kami yang ikut dalam misi ini berangkat tanpa persiapan. Bahkan, beberapa wartawan pun tak sempat untuk sekadar membawa baju ganti, apalagi makanan.
Ayunan kapal yang berusaha menunggangi gelombang tinggi di sepanjang perjalanan menuju perairan Belitung Timur seketika menghadirkan pusing, mual, dan muntah. Menjaga kondisi badan tetap fit di tengah serangan mabuk laut pun jadi tantangan lain ketika perbekalan termasuk bagian dari frasa "berangkat tanpa persiapan".
Selama perjalanan, kami mendapatkan makanan kaleng cepat saji. Ada tiga jenis makanan kaleng, yakni nasi goreng ayam, bubur kacang hijau, dan es buah. Kalau hanya disebut, sekilas tak ada masalah dengan makanan tersebut. Namun, coba saja menikmatinya di tengah goyangan ombak, untuk kali pertama sepanjang hidup.
Ketika malam tiba, tantangan lain datang. Ukuran kapal KN 224, yang tak begitu besar, tak menyediakan banyak tempat cukup lapang bagi semua orang untuk bersandar atau merebahkan punggung dengan nyaman.
Ada lima kamar di kapal ini. Namun, jangankan ditempati wartawan, kelima kamar itu juga tak cukup bagi 20 anggota Basarnas di kapal tersebut untuk beristirahat bersamaan. Saya dan sebagian wartawan "memutuskan" tidur di dek kapal.
Sebagian wartawan lain, yang tak kebagian tempat cukup terlindung, memakai kantong hitam untuk jenazah sebagai alas dan selimut tidur. Namun, semakin malam, angin bertambah kencang dan dingin. Baik kami yang tidur di dek bermodalkan jaket dan pakaian tertebal yang kami bawa, maupun mereka yang memilih "menyalahgunakan" kantong mayat, tetap saja menggigil.
Tiba di Belitung Timur
Kami tiba di perairan Belitung Timur, Senin (29/12/2014) pukul 04.15 WIB. Semua rasa bak "terdampar" di kapal misi pencarian pun langsung tertepis, berganti dengan semangat meliput dan harapan menemukan pesawat yang hilang itu berikut penumpang dan krunya.