Karena hanya dengan menyadari fungsi hakiki dan setia pada fungsi hakiki itu bahasa menjadi kreatif. Kalau tidak, pasti tidak menjadi kreatif. Coba kita marah-marahan, mengumpat-umpat nanti, kan, bahasa tidak kreatif. Kata-katanya ya itu-itu saja.
Lain itu kalau untuk mengembangkan akal budi dan untuk betul-betul memelihara kerja sama, akhirnya menjadi sangat kreatif. Seperti di dalam dunia ilmiah, seni, kepengarangan, bahkan juga di dalam dunia bisnis yang sungguh-sungguh. Saya kira itu merupakan hal yang layak disadari oleh kita semua.
Mengapa dua fungsi itu?
Mestinya ada yang lebih mendasar lagi yaitu agar setiap manusia itu bisa menjadi sesama buat yang lain. Sebab tanpa itu, tidak bisa menjadi sesama. Untuk menjadi sesama, dialognya memang luar biasa. Itu mengapa kita perlu orang lain, bahkan dalam keluarga itu ada suami istri karena mau tak mau kita harus mengembangkan dialog. Orang yang berkeluarga 25 tahun saja dimungkinkan untuk tidak klop kok.
Itu artinya kita menjadi manusia itu harus berdialog terus-menerus, sebab tanpa dialog tidak bisa menjadi sesama. Padahal di keluarga itulah puncaknya orang untuk menjadi sesama. Kalau di luar keluarga masih ada sekat, tapi kalau dengan bojo, (suami/istri) atau dengan anak, jaraknya apa?
Oleh karena itu di keluarga kita dididik betul menjadi manusia, lepas dari orang yang mendapat kelebihan, ora nikah ya ra popo itu kita anggap orang yang luar biasa. Orang ditempatkan di suatu kondisi sehingga yang bersangkutan itu bisa menjadi sesama, untuk bisa mengembangkan akal budinya, untuk bisa bekerja sama, harus dialog.
Budaya
Lebih jauh dalam pandangan Sudaryanto, kebudayaan pun hanya bisa ada karena dua fungsi bahasa tersebut. Kebudayaan ada kalau akal budi berkembang, juga kalau ada kerja sama yang bisa dipelihara. Sudaryanto melihat ada kaitan yang sangat erat dan esensial, dan bahkan "mutlak".
"Jadi ada hubungan antara memelihara kerja sama, mengembangkan akal budi lewat bahasa, dan memunculkan kebudayaan, menghadirkan kebudayaan. Bukan hanya menghadirkan tapi juga memelihara kebudayaan, memperlancar berkembangnya kebudayaan, memanfaatkan kebudayaan, sampai menikmati kebudayaan. Itu satu keutuhan," kata Sudaryanto.
"Saya tidak tahu kalau saat ini, terjadi perubahan yang luar biasa, apakah hal ini disadari tidak oleh tokoh-tokoh kita, siapa pun mereka. Kalau ini disadari, persoalannya saya kira akan menjadi lebih jelas. Harus dikembalikan ke situ."
Kaitannya dengan revolusi mental?
Kalau kaitannya dengan revolusi mental saya kira kita harus kembali menyadari fungsi hakiki bahasa. Kalau kita menyadari hal itu, saya kira revolusinya dimungkinkan. Karena revolusi mental itu sebenarnya, kan, kembali agar orang itu bisa mengembangkan akal budi, dan bisa memelihara kerja sama sehingga bisa menciptakan, menghasilkan, memelihara, memanfaatkan, dan menikmati kebudayaan. Dengan begitu, orang bisa menjadi sesama bagi yang lain. Revolusi mental itu seharusnya ke sana. Itu menurut hemat saya lho.
Rancu
Namun demikian, terjadi pamahaman yang rancu tentang kebudayaan. Hal itu tampak pada penamaan lembaga. Dulu ada fakultas "sastra dan kebudayaan". Jadi, kebudayaan dan sastra itu seakan setara. Ada juga "seni dan budaya", lantas "bahasa, sastra, dan budaya".
"Kenapa kita menyetarakan kebudayaan itu dengan macam-macam. Misalnya pariwisata dan kebudayaan. Jadi, seakan ada budaya, dan ada pariwisata, setingkat. Ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi di sini, ada pendidikan sendiri, ada pula kebudayaan sendiri. Jadi wajar sekali kalau sampai hari ini orang menentukan yang namanya kebudayaan itu tidak cetha (tidak jelas.)