Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2014, 14:00 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com
- Pengelola teknis teknologi informasi kartu tanda penduduk elektronik, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mengakui cip diimpor dari luar negeri. Namun, BPPT menjamin KTP elektronik bebas dari pemalsuan dan peretasan karena keamanan cip telah didesain dengan baik.

Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hary Budiarto menyampaikan hal itu di Jakarta, Kamis (20/11). Menurut dia, semua cip KTP elektronik generasi pertama diimpor, terutama dari Tiongkok dan Perancis.

"Generasi kedua nanti kami ambil alih. Cip akan diproduksi di dalam negeri," katanya.

Hary memastikan, cip memenuhi standar ISO 7816 untuk sistem operasi cip dan standar ISO 1443 untuk teknologi nirkontak. Cip penyimpan informasi biodata, pas foto, tanda tangan, dan sidik jari, yang ditanamkan dalam KTP elektronik, juga telah dienkripsi Lembaga Sandi Negara.

"Data sudah dienkripsi. Ada kode unik dan kunci publik yang berbeda setiap KTP elektronik sehingga tidak bisa dibaca sembarangan oleh mesin pembaca kartu elektronik," kata Hary.

Proses enkripsi

Proses enkripsi yang rumit membuat KTP elektronik sulit dipalsukan. Kartu ini hanya bisa dibaca oleh mesin pembaca kartu elektronik yang sudah ditanami modul keamanan akses (SAM).

"Mesin pembaca kartu elektronik impor yang dijual bebas tidak akan bisa membacanya," katanya.

Dia menjamin, tidak ada KTP elektronik palsu dan mustahil hal itu terjadi. ”Paling yang dipalsu blangko saja. Jadi, kartu dibuat mirip KTP elektronik yang ketika dimasukkan ke mesin pembaca akan diketahui ternyata palsu,” kata Hary.

Pertemuan intensif

Terkait kekhawatiran publik terhadap keamanan data KTP elektronik yang berkembang belakangan ini, pemerintah pun menggelar pertemuan secara intensif. BPPT bersama Lembaga Sandi Negara dan Institut Teknologi Bandung pun bertemu.

Pertemuan itu menghasilkan rekomendasi audiensi dengan Kementerian Dalam Negeri pada Senin (24/11). "Server jelas berada di Jakarta dan Batam (Kepulauan Riau). Memang pemeliharaan masih dilakukan pengembang yang berada di luar negeri. Tetapi, kami sudah membatasi akses mereka dan memonitor akses server oleh orang asing itu," kata Hary.

BPPT terus memonitor berkas catatan otomatis server sekaligus memeriksa aktivitas pemasok asing yang memelihara server dari luar negeri itu. Menurut Hary, mereka dapat langsung mendeteksi apabila pemasok asing tersebut menyalin data KTP elektronik dari server secara ilegal.

Pembatasan hak akses dan pemantauan penggunaan hak akses yang dilakukan BPPT sudah tepat. Pakar forensik digital, Ruby Alamsyah, mengatakan, sistem kerja jarak jauh (remote) merupakan hal biasa dalam proyek teknologi informasi. Termasuk jika ada kegiatan pemeliharaan dari vendor di luar negeri terhadap server yang ada di dalam negeri.

Standar kerja transaksi elektronik masih mengacu ke standar internasional yang sudah baku dan aman. Ada pula yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Pemerintah juga harus memperhatikan standar ISO 27001 (Manajemen Keamanan Informasi) untuk keamanan.

"Akses terhadap server harus dibatasi. Untuk mengetahui adakah akses berlebihan, penggunaan hak akses terhadap server KTP elektronik harus diaudit," kata Ruby. (AMR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com