Belum lagi menghadapi masalah fundamental lain, seperti tak adanya indikator serta mekanisme dan sistem yang mengatur potensi ”konflik kepentingan” dalam penggunaan kewenangan utama parlemen. Hal ini untuk memastikan bahwa kewenangan publik yang dimiliki anggota Dewan ditujukan hanya guna kepentingan kemaslahatan rakyat yang diwakilinya. Karena faktanya, selalu ada kesenjangan yang cukup lebar antara kepentingan konstituen atau rakyat yang diwakilinya dan seluruh sikap serta perilaku anggota Dewan.
UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang juga baru disahkan tidak cukup maksimal mengatur sistem untuk meningkatkan akuntabilitas anggota Dewan guna meminimalkan potensi sikap dan perilaku koruptif dan kolusif anggota Dewan.
Lingkup dan indikator penggunaan kewenangan tidak cukup jelas dan tegas dirumuskan sehingga potensi diskresi yang berlebihan dan tak terkontrol masih dapat dilakukan anggota Dewan untuk mendesakkan kepentingannya sendiri seolah-olah kepentingan institusi. Majelis Kehormatan yang awalnya bernama Badan Kehormatan belum dapat dilihat kemampuannya dan tidak bisa diandalkan menjaga serta menegakkan citra dan kewibawaan DPR.
Bilamana keseluruhan tantangan di atas tidak dapat dikelola dan dikendalikan parlemen secara baik dan bertanggung jawab, dapat dipastikan transaksi dan pasar gelap kekuasaan yang bersifat sistemik, terstruktur, dan masif serta berkelanjutan akan terjadi dengan sempurna.
Hal inilah yang disebut sebagai korupsi politik yang potensial dipakai untuk mengorupsi hak-hak konstitusional rakyat. Salah satunya, hak fundamental rakyat sebagai pemilik daulat rakyat yang sejati untuk memilih sendiri kepala daerahnya.
Bambang Widjojanto
Komisioner KPK