Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hak Politik Luthfi Hasan Ishaaq Dicabut, Hukumannya Diperberat Jadi 18 Tahun

Kompas.com - 16/09/2014, 06:31 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Agung memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Dalam putusan kasasinya, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik. (Baca: Luthfi Hasan Ishaaq Divonis 16 Tahun Penjara)

Putusan kasasi itu dijatuhkan pada Senin (15/9/2014) dengan ketua majelis kasasi yang juga Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis Hakim Agung M Askin dan MS Lumme.

Selaku anggota DPR, Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi. Ia juga terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dan sebagian di antaranya, yaitu senilai Rp 1,3 miliar, telah diterima melalui Ahmad Fathanah. (Baca: Luthfi Hasan Juga Didenda Rp 1 Miliar)

Seperti dikutip dari harian Kompas, 16 September 2014, Ketua Kamar Pidana MA yang juga Ketua Majelis Kasasi perkara Luthfi, Artidjo Alkostar, mengatakan, perbuatan Luthfi sebagai anggota DPR dengan melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat.

”Perbuatan terdakwa selaku anggota DPR yang melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat banyak, khususnya masyarakat pemilih yang telah memilih terdakwa menjadi anggota DPR RI,” ujar Artidjo kepada Kompas, Senin (15/9/2014).

Artidjo mengatakan, majelis kasasi menolak kasasi terdakwa karena hanya merupakan pengulangan fakta yang telah dikemukakan dalam pengadilan tingkat pertama dan banding. MA mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu sama dengan tuntutan jaksa KPK, yaitu 10 tahun penjara dan delapan tahun penjara untuk perkara pencucian uang. (Baca: Vonis Luthfi Pecahkan Rekor di Antara Politisi Korup)

Artidjo mengungkapkan, dalam pertimbangannya, majelis kasasi menilai judex facti (pengadilan tipikor dan PT DKI Jakarta) kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan seperti disyaratkan pada 197 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di dalam pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd). Hal yang memperberat itu adalah, Luthfi sebagai anggota DPR melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi fee. Perbuatan Luthfi itu menjadi ironi demokrasi. Sebagai wakil rakyat, dia tidak melindungi dan memperjuangkan nasib petani peternak sapi nasional.

”Hubungan transaksional antara terdakwa yang anggota badan legislatif dan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman merupakan korupsi politik karena dilakukan terdakwa yang dalam posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crime),” ujar Artidjo.

Sebelumnya, Luthfi divonis 16 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia dinyatakan terbukti korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Pengadilan tipikor juga menjatuhkan hukuman tambahan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hanya memperbaiki lamanya subsider denda, yaitu dari satu tahun kurungan menjadi enam bulan kurungan. (Baca: Darin Tawakal Luthfi Hasan Tetap Dihukum 16 Tahun)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com