JAKARTA, KOMPAS.com — Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, enggan berkomentar banyak terkait RUU Pilkada yang saat ini sedang dibahas di Parlemen. Dia hanya mengatakan, MK sudah pernah memutuskan tentang pemilu kepala daerah yang demokratis pada sidang MK terdahulu.
"Saya tidak boleh berkomentar atas RUU Pilkada karena berpotensi dibawa ke MK. Tetapi, kalau mau tahu pilkada demokratis seperti apa, silakan baca putusan MK terdahulu," ujar Patrialis, di sela-sela acara diskusi yang bertajuk "Gerakan Muhammadiyah dan Konstitusionalisme" di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Jumat (12/9/2014).
Menurut Patrialis, MK sudah pernah memutuskan perkara terkait pemilukada. Putusan itu, kata Patrialis, merupakan hasil dari uji materi yang dilakukan mahasiswa Universitas Esa Unggul pada awal tahun 2014. Namun, Patrialis tidak mau menyebutkan secara detail terkait putusan tersebut.
"MK sudah pernah membahas secara tuntas tentang masalah pilkada itu, yang dimaksud demokratis yang bagaimana, silakan dibaca lagi. Putusan MK itu tentang kasus bahwa MK tidak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada, yang diajukan mahasiswa Universitas Esa Unggul," ucap Patrialis.
Berdasarkan pemberitaan Kompas.com sebelumnya, pada Senin (24/2/2014), kewenangan MK menangani sengketa pemilukada kembali digugat. Para pemohon menilai undang-undang yang memberikan kewenangan kepada MK untuk menangani sengketa pemilukada dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Gugatan tersebut diajukan empat pemohon, yaitu Forum Kajian Hukum dan Konstitusi atau FKHK (pemohon I), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (pemohon II), Joko Widarto (pemohon III), dan Achmad Saifudin Firdaus (pemohon IV). Dalam perkara Nomor 97/PUU-XI/2013 itu, para pemohon menyoroti Pasal 236C UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat 1 huruf e UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Dari hasil kajian, seminar, dan diskusi yang sudah kami lakukan, dapat disimpulkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pilkada adalah inkonstitusional," kata juru bicara FKHK, Ryan Muhammad, dalam siaran persnya kepada wartawan, Senin lalu.
MK secara resmi menghapus kewenangan yang dimilikinya untuk mengadili perselisihan hasil pemilu kepala daerah. Berdasarkan putusan tersebut, mahkamah tak lagi mengadili sengketa pilkada karena dianggap inkonstitusional.
Dalam putusannya, mahkamah mengabulkan seluruh uji materi terhadap Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Menyatakan, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Hamdan Zoelva dalam putusannya di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta, Senin.
Kendati demikian, Hamdan mengatakan, selama masa peralihan sebelum undang-undang pengganti dibuat untuk menggantikan perannya dalam mengadili sengketa pilkada, mahkamah akan tetap mengadili sengketa pilkada. Hal tersebut, kata dia, untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
"Untuk sementara ditangani oleh MK, tapi itu hanya semata-mata untuk mengisi kekosongan saja," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.