Maka, setiap lima tahun, yang bisa jadi menteri bukan lagi dari parpol, melainkan dari golongan kekaryaan. Mereka yang tergolong mengutamakan kekaryaan itu profesional, berilmu luas, ahli, zaken, dan tahu seluk-beluk pekerjaan kementeriannya. Mereka dikenal sebagai teknokrat.
Di negara demokrasi yang telah maju seperti Jerman, AS, Jepang, dan Australia, yang bisa diangkat jadi menteri terindikasi jadi anggota, fungsionaris, pendukung, kader, dan simpatisan parpol. Maka, parpol merupakan kendaraan tumpangan orang yang mau bepergian menuju kabinet atau pejabat politik seperti menteri, gubernur, ataupun wali kota. Mereka yang dari parpol itu ternyata kompetensi individualnya dalam bidang tertentu amat menakjubkan. Orang dari parpol yang kompeten dan berilmu luas memang layak jadi menteri atau presiden atau perdana menteri.
Di Inggris, menteri adalah anggota kabinet dan semua menteri itu harus anggota parlemen. Jika ada seseorang yang diperlukan menduduki jabatan menteri bukan anggota parlemen, dia harus disetujui atau memenangi suara ketika dipilih anggota parlemen. Jadi, seorang menteri dalam kabinet di Kerajaan Inggris harus dari parpol. Ia harus pula berbobot, kompeten, dan berkualitas memahami fungsi serta tugas departemen yang bakal ia pimpin. Demikian pula yang terjadi di Australia.
Jerman dengan tegas mengatakan bahwa negaranya yang demokratis dan berdasarkan hukum tak bisa berjalan tanpa parpol. Parpol melalui pemilihan langsung memilih wakilnya di lembaga perwakilan dan memilih kepala negaranya. Menteri diangkat berasal dari wakil parpol yang berkoalisi membentuk pemerintahan. Dengan sendirinya, karena tingkat kemajuan pendidikan di negaranya, maka selain dari parpol, kompetensi individu calon menteri amat menentukan.
Ketua atau kader partai
Berdasarkan pengalaman selama ini, ada baiknya keinginan Bung Hatta dalam membangun pemerintahan sipil yang demokratis bisa digunakan menentukan kriteria pengangkatan seorang menteri di dalam kabinet presidensial. Pertanyaannya sekarang, menteri berasal dari ketua partai atau kader partai? Seorang menteri merupakan jabatan politik dan dipilih presiden dari kelompok parpol koalisinya, atau diangkat presiden berasal dari orang bukan anggota partai. Hal itu merupakan hak prerogatif presiden. Dasar pemilihannya adalah kompetensi, keahlian, berakhlak mulia, dan berilmu pengetahuan luas. Bukan semata-mata karena ketua atau pemimpin parpol atau kader parpol.
Begitu seseorang sudah menduduki jabatan menteri, orang tersebut berbakti untuk negara, bukan untuk partainya lagi. Menteri merupakan jabatan politik yang negarawan, bukan pejabat negara yang loyal kepada partai politik. Identitas berpolitik dan jadi pendukung, simpatisan, anggota, serta fungsionaris parpol tak bisa dihindarinya. Namun, begitu memangku jabatan menteri, orang parpol yang jadi pejabat negara harus mengakhiri kekaderan parpolnya.
Menteri bekerja untuk negara dan rakyat secara keseluruhan, bukan untuk parpolnya lagi. Urusan parpol ditinggalkan dulu. Selesai jabatan menteri, ia boleh kembali ke partai. Inilah perilaku dan sikap negarawan yang high politic. Ini bisa dicapai untuk mendewasakan pemerintahan yang demokratis.
Keahlian, basis ilmu pengetahuan yang luas, kompetensi, profesional, dan berakhlak mulia merupakan bekal yang dimiliki negarawan calon menteri. Ini terlihat dari penampilan dan riwayat hidupnya. Keterlibatan rakyat memberikan penilaian calon menteri sangat penting.
Miftah Thoha Guru Besar (ret) Ilmu Administrasi Publik UGM