Bagi Indonesia, dan juga dunia, Munir adalah ikon pejuang hak asasi manusia (HAM) yang semangatnya akan terus dihidupkan. Munir Said Thalib, kelahiran Desember 1965, meninggal dunia karena racun arsenik di tubuhnya.

Peristiwa tahun 2004 lalu itu mengagetkan banyak pihak. Munir dihabisi nyawanya ketika hendak melanjutkan studi ke Belanda. Saat itu ia tengah aktif memimpin Lembaga Pemantau HAM di Indonesia (Imparsial).

Tentara dituduh menjadi dalang pembunuhan itu meski hingga kini belum ada persidangan yang menyeret tentara ke meja hijau.

Di balik tubuh kerempengnya itu, Munir tidak pernah takut memperjuangkan HAM. Ia melawan Komando Daerah Militer V Brawijaya untuk memperjuangkan kasus kematian Marsinah, aktivis buruh PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan mati.

Ia juga menyelidiki kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta pada masa reformasi 1997-1998. Sederet kasus pelanggaran HAM, seperti penembakan mahasiswa di Semanggi (1998-1999) hingga pelanggaran HAM masa referendum Timor Timur (1999) menjadi catatan sejarah atas perjuangan Munir.

”Aku harus bersikap tenang, walaupun takut. Untuk membuat orang lain tidak takut.” Begitulah kutipan Munir tentang perjuangannya. Apa yang diungkapkan Munir itu kini menjadi salah satu tagline dalam acara #10 Tahun Munir yang akan diperingati 6-7 September di Omah Munir, Batu, Malang, Jawa Timur.

”Sepuluh tahun Cak Munir sudah dibungkam. Namun, perjuangan HAM di Indonesia masih jauh dari rasa keadilan,” kata Suciwati Munir, saat temu wartawan di Kedai Tempo, Jalan Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur, Selasa (2/9).

Ia menambahkan, malam peringatan yang akan digelar nanti bukan sekadar memperingati hari kematian Munir, yang meninggal 7 September 2004. Momen tersebut sekaligus meneguhkan komitmen mereka dan generasi muda berikutnya untuk terus memperjuangkan HAM di Indonesia. Selain Omah Munir, beberapa lembaga seperti Imparsial dan Kontras ikut berpartisipasi menyelenggarakan acara tersebut.

Perjuangan Munir dan juga aktivis HAM lainnya menggugah para seniman untuk ikut berjuang, paling tidak melalui jalur seni yang mereka geluti. Peringatan #10 Tahun Munir akan diramaikan oleh musisi Melani Subono, Glenn Fredly, Abdee Slank, serta Happy Salma yang akan memutar film karyanya berjudul Kamis 300.

Gaung Omah Munir

Para aktivis dan seniman ini menggaungkan tema Munir Ada dan Berlipat Ganda. Menurut Haris Azhar dari Kontras, menjadi penyeru bahwa apa yang disuarakan Cak Munir akan disuarakan dan digaungkan banyak pihak. Isu HAM di Indonesia belum dianggap seksi sehingga kampanye untuk menggugah kesadaran anak muda mesti terus dilakukan.

Selain di Malang, peringatan #10 Tahun Munir juga diadakan di beberapa kota, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Solo. Di kota Canberra dan Melbourne, Australia serta di Selandia Baru, para aktivis HAM dan simpatisan juga ikut merayakan warisan perjuangan Munir.

”Cak Munir adalah ruang keadilan bagi kita semua,” tutur Suci. Di Jakarta, sebanyak 31 stasiun radio di Indonesia ikut menyiarkan perayaan kematian Munir itu secara serentak.

Selain memutar film Kamis 300, panitia juga akan memutar beberapa film bertema perdamaian dan penegakan HAM. Kegiatan dua hari di Omah Munir juga melibatkan siswa dari tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga mahasiswa.

Untuk pelajar tingkat TK/SD, siswa akan diajak untuk, antara lain, mewarnai wajah Cak Munir dan lomba melukis. Sedangkan remaja SMU dan umum diajak untuk berkompetisi membawakan stand up comedy dengan tema perdamaian dan HAM.

Seniman Yogyakarta, Butet Kertaradjasa, menawarkan diri untuk ikut membacakan monolog berjudul ”Aku Pembunuh Munir”. Sementara dari kalangan sineas, Riri Riza, Mira Lesmana, Angga Dwisasongko, dan Nia Dinata akan ikut menggelar diskusi tentang film sebagai media pengungkap kebenaran dan melawan lupa. Seniman Malang ikut pula bergabung dengan Omah Munir untuk merayakan komitmen mereka melawan ketidakadilan.

Secara terpisah, musisi Glen Fredly mengatakan, Munir bukan hanya milik masyarakat Indonesia, tetapi juga milik dunia. ”Kematiannya tragis, namun peristiwa pembunuhan itu justru menyebarkan semangat di antara kami semua. Perjuangan Munir tidak boleh mati.”

Tosca Santoso, dari KBRH 68 mengatakan, keadilan itu penting. Meski waktu sudah berlalu, orang akan tetap mengingat dan meminta keadilan ditegakkan. Permintaan semacam itu juga didengungkan beberapa organisasi HAM internasional seperti Amnesty International di mana Munir dicalonkan untuk mendapat penghargaan Nobel alternatif.

Organisasi HAM internasional juga meminta agar Pemerintah Indonesia membuka kembali kasus Munir dan mempertanyakan kenapa penyelesaikan kasus pembunuhan itu terhenti.

”Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah baru kita (Jokowi-Jusuf Kalla). Menuntaskan janji untuk mengusut pelanggaran HAM, meski para pelakunya berada di sekitar presiden
terpilih kita sekarang,” kata Tosca.

Di Malang, rumah masa kecil Munir, atau yang sekarang dikenal sebagai Omah Munir dipakai sebagai Museum Keadilan dan HAM. Omah Munir ini memberikan pendidikan publik atas kesadaran tentang hak asasi manusia. Pengurus Omah Munir berupaya mendekati sekolah-sekolah agar mau mengunjungi tempat tersebut untuk belajar bersama. Dari Omah Munir gaung keadilan itu terus bergema.