Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/08/2014, 09:59 WIB

Satu-satunya proses hukum yang bisa menghentikan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, menurut Topo adalah pidana biasa. "Bukan lagi di rezim hukum pemilu," ujar dia. Pidana biasa yang sudah berkekuatan hukum tetap, ujar dia, bisa memengaruhi hasil pemilu, tetapi dalam konteks di luar rezim pemilu.

Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, kubu Prabowo-Hatta memang punya hak untuk mengajukan gugatan lewat PTUN bila merasa dirugikan oleh keputusan KPU. "Masalahnya, penggunaan hak ini sangat terlambat karena pemilu sudah selesai dan perselisihan hasil pilpres sudah diputus MK," kata dia, lewat pembicaraan telepon, Kamis malam.

Arif mengatakan, setiap tahapan pemilu bisa dipersoalkan, tetapi tidak boleh dilakukan ketika tahapan yang dipermasalahkan itu sudah selesai. Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Legislatif ini menyinggung pula bahwa ada kedaluwarsa untuk penanganan perkara di PTUN sekalipun.

"Secara normatif, mempersoalkan pencalonan Jokowi akan kedaluwarsa pada 29 Agustus 2014. Namun, secara substantif, tahap pencalonan sudah kedaluwarsa setelah melewati tahapan pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, apalagi sudah putusan sengketa hasil di MK yang bersifat final dan mengikat," papar Arif.

Publik sudah lelah

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Djito, mengatakan, upaya hukum dan politik yang masih akan digeber kubu Prabowo-Hatta tak lagi bermanfaat. "Upaya perlawanan hukum dan politik Prabowo sudah kehilangan makna, bahkan tak punya arti," ujar dia.

Menurut Arie, rakyat sudah akan melupakan pemilu presiden setelah putusan sengketa hasil di MK. "Rakyat jelas sudah makin dewasa bersikap. (Bila proses hukum dan politik dipaksakan), rakyat justru makin tak simpatik kepada Prabowo-Hatta," ujar dia.

Secara umum, imbuh Arie, pemilu presiden sudah usai. "Jika perlawanan dilanjutkan, rakyat akan mencibir," kata dia. "Apalagi ketika  Jokowi-JK (calon presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla) sudah mulai bekerja, maka lambat laun (upaya) Prabowo-Hatta akan kehilangan makna."

Terkait upaya politik, Arif Wibowo mengajak kubu Prabowo-Hatta untuk ibaratnya mengukur baju sendiri. "Masa jabatan (periode 2009-2014) kita sudah mau habis. Hiruk pikuk politik akan jadi bumerang, tidak mendidik, serta tak memberi manfaat lebih banyak bagi bangsa dan negara," ujar dia.

Ya sudahlah...

Dalam pernyataan yang ditandatangani semua pejabat teras partai pengusung Prabowo-Hatta, kecuali Partai Demokrat, disebutkan soal niat koalisi ini memburu keadilan substantif. Dibacakan Tantowi, koalisi berpendapat putusan MK tidak mencerminkan keadilan substantif.

Keadilan substantif, kata Tantowi, adalah sebuah esensi yang selama ini menjadi dasar pertimbangan putusan MK. Dinyatakan pula bahwa keadilan substantif merupakan hakikat penting dalam demokrasi.

"Kejadian ini menunjukkan masih banyak perjuangan kita untuk memperbaiki sistem pemilu mendatang," ujar Tantowi. "Kami akan terus berjuang bersama rakyat dan barisan Koalisi Merah Putih untuk memajukan kepentingan bangsa dan negara."

Tak dipungkiri, ada 62.576.444 suara yang menitipkan kepercayaan kepada pasangan Prabowo-Hatta, selain 70.997.833 suara bagi Jokowi-JK. Namun, apakah Indonesia tak bisa diibaratkan satu kelas yang baru saja usai menggelar pemilihan ketua kelas, yang siapa pun ketua kelasnya harus berbagi jadwal piket untuk kebaikan kelas milik bersama ini?

Terlebih lagi, pada bagian akhir pernyataan bersama Koalisi Merah Putih pun tertera, "Kecintaan kami pada negeri ini membuat kami terus mengawal dan berkontribusi pada bangsa walau ada di luar pemerintahan. Kami tidak ingin bangsa ini dikendalikan segelintir orang."

Posisi yang akan diambil menurut pernyataan itu pun sudah jelas. "(Lewat) perwakilan rakyat di parlemen (kami) akan terus mengawasi pemerintah sebagai kekuatan penyeimbang, (yang) dengan cara itu check and balances berjalan dengan baik."

Sayup-sayup terngiang lirik lagu lawas Elpamas yang juga pernah dinyanyikan Iwan Fals. "Pak Tua, sudahlah... Engkau sudah terlihat lelah... Kami mampu untuk bekerja...." Suara Bondan Prakoso pun samar-samar meningkahinya, "Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah... Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, ya sudahlah...."

(ANN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Nasional
9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

Nasional
Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Nasional
Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Nasional
Setelah Mahasiswa, DPR Buka Pintu untuk Perguruan Tinggi yang Ingin Adukan Persoalan UKT

Setelah Mahasiswa, DPR Buka Pintu untuk Perguruan Tinggi yang Ingin Adukan Persoalan UKT

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pengamat: Hubungan Sudah “Game Over”

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pengamat: Hubungan Sudah “Game Over”

Nasional
Jokowi Tak Diundang Rakernas PDI-P, Pengamat: Sulit Disatukan Kembali

Jokowi Tak Diundang Rakernas PDI-P, Pengamat: Sulit Disatukan Kembali

Nasional
UKT Mahal, Komisi X Minta Dana Pendidikan Juga Dialokasikan untuk Ringankan Beban Mahasiswa

UKT Mahal, Komisi X Minta Dana Pendidikan Juga Dialokasikan untuk Ringankan Beban Mahasiswa

Nasional
Jokowi Ingin TNI Pakai 'Drone', Guru Besar UI Sebut Indonesia Bisa Kembangkan 'Drone AI'

Jokowi Ingin TNI Pakai "Drone", Guru Besar UI Sebut Indonesia Bisa Kembangkan "Drone AI"

Nasional
Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Nasional
Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Nasional
Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com