Di kubu lain, Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak memiliki utang moral. Mantan Wali Kota Solo yang dikenal pekerja keras, merakyat, jujur, dan bersahaja ini merupakan novum yang sesungguhnya dalam Pemilu 2014. Figur ini adalah semacam fenomena ”angsa hitam”, sebuah kekecualian di tengah-tengah perilaku politis yang sudah lazim. Mungkin ia diberikan sekali saja untuk Indonesia. Jika terpilih, boleh diharapkan, sebuah generasi baru akan memimpin Indonesia dengan inovasi-inovasi politis baru.
Kubunya, misalnya, telah menempuh strategi non-konvensional dengan menggalang dana kampanye yang berasal dari kantong masyarakat. Strategi ini menabrak langsung tradisi sogok dalam politik transaksional selama ini. Alih-alih disogok untuk memilih calon mereka, para pemilih justru mengongkosi kampanye calon yang akan mereka pilih. Inovasi politis ini merupakan ”serangan moral” dari sebuah politik transformasional yang ingin merevitalisasi nilai-nilai sentral demokrasi partisipatoris dan menguatkan civil society kita.
Etalase politis
Transaksional atau transformasional? Pilihan ini sudah jelas sejak awal kampanye. Memilih presiden tidak cukup hanya dengan percaya pada niat dan tekad yang dikatakan para kandidat. Dalam kampanye, niat dan tekad merupakan bagian permainan simbol untuk meraup suara. Sangat penting mencermati latar belakang mereka dan apa yang telah mereka lakukan. Masa kampanye ini juga merupakan semacam etalase yang sedikit banyak mempertontonkan cara bagaimana niat mereka nanti akan dilaksanakan.
Calon yang paling banyak masalah dan tidak menunjukkan kebaruan dalam cara-cara berpolitik selama kampanye tidaklah menarik untuk dipilih karena besar kemungkinan pemerintahannya akan banyak menghasilkan masalah. Bukankah Anda tidak akan membeli barang cacat dari etalase?
Berbagai masalah besar harus mereka selesaikan nanti, seperti: korupsi, kemiskinan, compang-campingnya sistem pendidikan, deradikalisasi kelompok-kelompok garis keras, masih buruknya pelayanan publik, dan penyelesaian masalah pelanggaran HAM pada masa lalu. Dapatkah mengoreksi semua itu dengan sebuah politik transaksional yang mengakomodasi kekuatan-kekuatan yang merupakan bagian dari masalah-masalah itu sendiri? Tentu tidak. Masalah tidak dapat diselesaikan dengan masalah. Yang diperlukan adalah politik transformasional yang mengubah kekurangan-kekurangan menjadi kekuatan sebuah bangsa demokratis yang beradab, bebas dari rasa takut, dan inovatif menghadapi tantangan masa depan.
Pilpres 2014 akan menjadi batu uji demokrasi kita. Apakah kita akan berjalan di tempat, mundur ke belakang, atau naik ke level lebih tinggi dalam demokrasi akan ditentukan oleh tindakan suara hati pemilih di dalam bilik suara. Di tempat itu seharusnya tidak terjadi politik transaksional, tetapi keputusan suara hati sebagai tindakan politis yang transformasional karena tindakan memilih adalah sebuah peristiwa moral.
F Budi Hardiman Pengajar Program Pascasarjana STF Driyarkar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.