Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Transaksional, Transformasional

Kompas.com - 16/06/2014, 16:31 WIB

Oleh:

KOMPAS.com - MENGEJAR kekuasaan adalah sah dalam demokrasi modern. Untuk itulah, antara lain, partai politik didirikan. Segala retorika moral yang mengiringi adalah pemanis untuk memikat hati rakyat yang darinya kuasa dilahirkan.

Realisme politis seperti itu bukan berita baru bagi kita. Dalam Pemilu 2009, partai-partai berkoalisi membangun kekuasaan. Saat itu cinta kepada rakyat juga menjadi retorika moral yang nyaring. Pada 2014, lima tahun kemudian, substansi politis tidak banyak berubah. Bukankah barisan partai yang dulu mendukung SBY sekarang juga berada di belakang salah satu kandidat? Tentu tidak gratis untuk mendapatkan dukungan itu.

Namun, partai pemenang Pemilu Legislatif 2014, PDI-P, dan kandidat unggulannya, Joko Widodo, membuat perbedaan yang signifikan sehingga kita boleh mengharapkan perubahan substansi politis yang sudah lama mengendap di negeri ini.

Sejak awal mereka membuka kemungkinan sebuah kerja sama tanpa syarat. Kata ”koalisi” dinilai terlalu pragmatis dan transaksional karena bertolak dari kepentingan partikular partai-partai, sementara kata ”kerja sama” dinilai lebih tepat untuk sebuah proyek kerakyatan yang melampaui kepentingan partikular partai-partai. Sasaran terakhirnya formasi pemerintahan presidensial yang kuat.

Dua macam politik

Seandainya kategori kerja sama tanpa syarat tidak muncul, mungkin lanskap Pemilu 2014 tak berbeda dari lima tahun lalu. Pemilu hanya menjadi ajang sirkulasi kuasa elite politis di atas langit sana. Sikap politis baru ini memberikan harapan bahwa sebuah demokrasi yang digerakkan oleh komitmen moral, bukan oleh transaksi politis belaka, masih mungkin di negara kita.

Dalam Transformational Leadership, BM Bass dan RE Riggio berpendapat, kepemimpinan transaksional paling-paling hanya akan menghasilkan kompromi yang tidak akan melampaui self-interests. Pemimpin memperoleh loyalitas para pengikut dengan menjanjikan sejumlah uang atau kedudukan. Organisasi yang terbangun rapuh karena tidak diikat oleh komitmen moral, tetapi hanya oleh pertukaran kepentingan diri.

Berbeda dari itu, kepemimpinan transformasional membangkitkan ”kesadaran akan nilai dan pentingnya tujuan-tujuan ideal dan khusus” serta ”melampaui kepentingan diri demi kebaikan organisasi”. Seorang pemimpin transformasional ”efektif dalam memotivasi para pengikut untuk mendukung kebaikan yang lebih besar yang melampaui kepentingan diri”.

Ia melibatkan para pengikut untuk memberdayakan mereka sehingga kinerja organisasi menjadi lebih daripada yang diharapkan. Dalam teori politik, kepemimpinan transaksional mendekati modus vivendi ala Hobbes, sedangkan kepemimpinan transformasional mendekati demokrasi partisipatoris. Kita lalu boleh bicara tentang politik transaksional dan politik transformasional.

Pengejaran kuasa kerap membuat orang lupa bahwa politik transaksional hanya akan mereproduksi oportunis- oportunis sebagaimana sudah kita kenal selama ini. Demi perolehan suara lebih besar dan tak peduli dengan berbagai permasalahan yang mendera mereka, partai induk dalam koalisi merangkul sebanyak mungkin partai, tentu dengan pemanis kesamaan platform. Dengan ekspektasi perolehan kedudukan lebih banyak, partai-partai pendukung merapat ke partai induk. Bukan hanya oportunisme yang dihasilkan politik macam itu, melainkan juga elitisme karena kepentingan-kepentingan partikular partai-partai akan lebih banyak berbicara daripada tujuan lebih tinggi, yakni kepentingan semua pihak, yang dapat dicapai dengan komitmen moral.

Mengingat visi tajam Gerindra sebelum terbentuknya koalisi, orang mengira bahwa partai ini akan selektif menerima kawan-kawan koalisi. Patut disayangkan, hal itu tak terjadi. Dalam imajinasi politis masyarakat koalisi Merah Putih lalu dipojokkan ke kutub ”politik transaksional”, sementara kerja sama tanpa syarat yang dimajukan PDI-P dan kandidatnya berada di kutub lawannya yang boleh kita sebut ”politik transformasional”. Polarisasi kedua tipe politik itu bahkan melampaui pengelompokan partai. Untuk pertama kalinya dalam demokrasi pasca Soeharto, partai-partai terbelah menurut figur yang mereka pilih, seperti yang terjadi pada Golkar, PAN, dan PPP.

Harapan pembaruan

Polarisasi antara politik transaksional dan politik transformasional meringkas kedua kekuatan politis dalam kampanye Pilpres 2014. Banyak utang moral dipikul oleh salah satu kubu, seperti: pelanggaran HAM di masa lalu, problem lumpur Lapindo, dan kasus-kasus korupsi petinggi partai pendukung mereka. Sementara belum ada klarifikasi atas soal-soal itu, beberapa berita belakangan juga membebani kubu ini, seperti: analogi perang Badar Amien Rais, masuknya kelompok-kelompok garis keras ke dalam barisan pendukung, pelibatan babinsa untuk mengarahkan dukungan warga kepada salah satu capres, dan janji kampanye untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan.

Tidak ada kebaruan dalam tema-tema dan cara-cara berpolitik semacam itu karena hal-hal seperti itulah yang mengisi lanskap politis selama ini sejak Orde Baru. Tanpa bantahan dan tanpa klarifikasi, kubu yang dikaitkan dengan hal-hal tersebut akan sulit menghindari kesan telah mewakili kekuatan-kekuatan konservatif negeri ini.

Di kubu lain, Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak memiliki utang moral. Mantan Wali Kota Solo yang dikenal pekerja keras, merakyat, jujur, dan bersahaja ini merupakan novum yang sesungguhnya dalam Pemilu 2014. Figur ini adalah semacam fenomena ”angsa hitam”, sebuah kekecualian di tengah-tengah perilaku politis yang sudah lazim. Mungkin ia diberikan sekali saja untuk Indonesia. Jika terpilih, boleh diharapkan, sebuah generasi baru akan memimpin Indonesia dengan inovasi-inovasi politis baru.

Kubunya, misalnya, telah menempuh strategi non-konvensional dengan menggalang dana kampanye yang berasal dari kantong masyarakat. Strategi ini menabrak langsung tradisi sogok dalam politik transaksional selama ini. Alih-alih disogok untuk memilih calon mereka, para pemilih justru mengongkosi kampanye calon yang akan mereka pilih. Inovasi politis ini merupakan ”serangan moral” dari sebuah politik transformasional yang ingin merevitalisasi nilai-nilai sentral demokrasi partisipatoris dan menguatkan civil society kita.

Etalase politis

Transaksional atau transformasional? Pilihan ini sudah jelas sejak awal kampanye. Memilih presiden tidak cukup hanya dengan percaya pada niat dan tekad yang dikatakan para kandidat. Dalam kampanye, niat dan tekad merupakan bagian permainan simbol untuk meraup suara. Sangat penting mencermati latar belakang mereka dan apa yang telah mereka lakukan. Masa kampanye ini juga merupakan semacam etalase yang sedikit banyak mempertontonkan cara bagaimana niat mereka nanti akan dilaksanakan.

Calon yang paling banyak masalah dan tidak menunjukkan kebaruan dalam cara-cara berpolitik selama kampanye tidaklah menarik untuk dipilih karena besar kemungkinan pemerintahannya akan banyak menghasilkan masalah. Bukankah Anda tidak akan membeli barang cacat dari etalase?

Berbagai masalah besar harus mereka selesaikan nanti, seperti: korupsi, kemiskinan, compang-campingnya sistem pendidikan, deradikalisasi kelompok-kelompok garis keras, masih buruknya pelayanan publik, dan penyelesaian masalah pelanggaran HAM pada masa lalu. Dapatkah mengoreksi semua itu dengan sebuah politik transaksional yang mengakomodasi kekuatan-kekuatan yang merupakan bagian dari masalah-masalah itu sendiri? Tentu tidak. Masalah tidak dapat diselesaikan dengan masalah. Yang diperlukan adalah politik transformasional yang mengubah kekurangan-kekurangan menjadi kekuatan sebuah bangsa demokratis yang beradab, bebas dari rasa takut, dan inovatif menghadapi tantangan masa depan.

Pilpres 2014 akan menjadi batu uji demokrasi kita. Apakah kita akan berjalan di tempat, mundur ke belakang, atau naik ke level lebih tinggi dalam demokrasi akan ditentukan oleh tindakan suara hati pemilih di dalam bilik suara. Di tempat itu seharusnya tidak terjadi politik transaksional, tetapi keputusan suara hati sebagai tindakan politis yang transformasional karena tindakan memilih adalah sebuah peristiwa moral.

F Budi Hardiman Pengajar Program Pascasarjana STF Driyarkar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dampak Korupsi Tol MBZ Terungkap dalam Sidang, Kekuatan Jalan Layang Berkurang hingga 6 Persen

Dampak Korupsi Tol MBZ Terungkap dalam Sidang, Kekuatan Jalan Layang Berkurang hingga 6 Persen

Nasional
Mahfud MD Ungkap Kecemasannya soal Masa Depan Hukum di Indonesia

Mahfud MD Ungkap Kecemasannya soal Masa Depan Hukum di Indonesia

Nasional
Jalan Berliku Anies Maju di Pilkada Jakarta, Sejumlah Parpol Kini Prioritaskan Kader

Jalan Berliku Anies Maju di Pilkada Jakarta, Sejumlah Parpol Kini Prioritaskan Kader

Nasional
Kunker di Mamuju, Wapres Olahraga dan Tanam Pohon Sukun di Pangkalan TNI AL

Kunker di Mamuju, Wapres Olahraga dan Tanam Pohon Sukun di Pangkalan TNI AL

Nasional
Sebut Demokrasi dan Hukum Mundur 6 Bulan Terakhir, Mahfud MD: Bukan karena Saya Kalah

Sebut Demokrasi dan Hukum Mundur 6 Bulan Terakhir, Mahfud MD: Bukan karena Saya Kalah

Nasional
Bobby Resmi Masuk Gerindra, Jokowi Segera Merapat ke Golkar?

Bobby Resmi Masuk Gerindra, Jokowi Segera Merapat ke Golkar?

Nasional
[POPULER NASIONAL] Korps Marinir Tak Jujur demi Jaga Marwah Keluarga Lettu Eko | Nadiem Sebut Kenaikan UKT untuk Mahasiswa Baru

[POPULER NASIONAL] Korps Marinir Tak Jujur demi Jaga Marwah Keluarga Lettu Eko | Nadiem Sebut Kenaikan UKT untuk Mahasiswa Baru

Nasional
Poin-poin Klarifikasi Mendikbud Nadiem di DPR soal Kenaikan UKT

Poin-poin Klarifikasi Mendikbud Nadiem di DPR soal Kenaikan UKT

Nasional
Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Menkes: Pasti Akan Masuk ke Indonesia

Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Menkes: Pasti Akan Masuk ke Indonesia

Nasional
Sidang Perdana Kasus Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Digelar Tertutup Hari Ini

Sidang Perdana Kasus Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Digelar Tertutup Hari Ini

Nasional
Saat PKB dan PKS Hanya Jadikan Anies 'Ban Serep' pada Pilkada Jakarta...

Saat PKB dan PKS Hanya Jadikan Anies "Ban Serep" pada Pilkada Jakarta...

Nasional
Tanggal 25 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 25 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Dukung Pengelolaan Sumber Daya Alam, PHE Aktif dalam World Water Forum 2024

Dukung Pengelolaan Sumber Daya Alam, PHE Aktif dalam World Water Forum 2024

Nasional
Ridwan Kamil Sebut Pembangunan IKN Tak Sembarangan karena Perhatian Dunia

Ridwan Kamil Sebut Pembangunan IKN Tak Sembarangan karena Perhatian Dunia

Nasional
Jemaah Haji Dapat 'Smart' Card di Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Jemaah Haji Dapat "Smart" Card di Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com