Kemarin, Badan Pengawas Pemilu Daerah Istimewa Yogyakarta juga menyelidiki dugaan politik uang terkait dengan uang Rp 510 juta yang diamankan Kepolisian Resor Gunung Kidul, beberapa hari lalu. Uang tersebut diamankan dari sebuah mobil yang juga berisi alat peraga kampanye calon anggota DPR dari salah satu partai.
”Kami masih memproses adanya dugaan tindak pidana pemilu terkait temuan itu,” kata anggota Bawaslu DIY, Sri Rahayu Werdiningsih.
Sri Rahayu mengatakan, pihaknya sudah memanggil tujuh saksi terkait peristiwa tersebut. Mereka adalah tiga orang yang berada dalam mobil berisi uang itu, satu orang yang mengaku sebagai pemilik uang, serta tiga caleg.
Rakyat tak punya pilihan
Di Dusun Mejing, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman, DIY, meski masyarakat setempat sudah memasang spanduk-spanduk yang intinya menolak pemberian uang, para caleg tetap berupaya melakukan politik uang.
”Kami tetap kecolongan,” kata Kepala Dukuh Mejing YB Rahmad Eko Suprapto.
Menurut Rahmad, malam hari sebelum pileg memang terjadi politik uang. Sebagian masyarakat memang akhirnya tak kuasa menolak saat ditawari uang.
”Habis bagaimana lagi, desakan kebutuhan ekonomi memang terjadi,” kata Pur, warga Kampung Parung Benying, Sarua, Ciputat, Tangerang Selatan.
Penuturan sejumlah warga di sana, sejumlah caleg DPRD, melalui tim sukses atau memanfaatkan staf kelurahan, melakukan ”serangan fajar”. Bahkan, malam sebelum pencoblosan, banyak tim sukses yang sudah menitipkan amplop berisi uang. Jumlahnya sangat bervariasi dari Rp 15.000 hingga Rp 30.000. Belum terhitung jumlah dana yang dikucurkan untuk tokoh-tokoh masyarakat.
”Ya, namanya dikasih duit, masak kami tolak,” ujar seorang ibu yang mendapatkan Rp 15.000 dari tim sukses caleg DPR.
Tak sedikit pula warga yang mengaku mendapat tiga sampai empat amplop berisi uang ”serangan fajar”. Setiap didatangi tim sukses, warga itu selalu berpura-pura belum mempunyai pilihan saat didatangi timses.
Modus menarik hati rakyat juga ada yang menggunakan cara membangun fasilitas jalan yang dibutuhkan warga, seperti pengaspalan jalan.
”Kami, sih, senang-senang saja. Ini pengorbanan riil yang langsung dilakukan caleg, bukan janji-janji. Namun, soal pilihan dalam pemilu, ya, diserahkan pada hati nurani warga,” kata Budi, warga Pamulang Dua.
Warga Cirebon, Jawa Barat, umumnya juga menganggap caleg sebagai orang yang memiliki banyak uang. Oleh karena itu, warga cenderung memanfaatkan momen itu untuk mengajukan proposal atau permintaan uang secara langsung.
Hal itu diakui Radi (33), warga Kelurahan Sunyaragi, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon. ”Ada delapan caleg yang datang ke kampung saya. Mereka datang dengan alasan silaturahim. Ada juga yang mendatangi rumah warga satu per satu. Dari mereka saya minta amplop. Sebab, mereka sudah berani nyalon, jadi sudah pasti punya uang,” kata lelaki tiga anak yang sehari- hari mengayuh becak itu.