Fakta bahwa bencana menjadi cara bagi calon anggota legislatif dan partai politik memoles citra seolah merendahkan masyarakat. Kental nuansa, masyarakat seakan bakal terbawa suasana romantis sesaat yang disuguhkan dari panggung derita yang ditampilkan bak panggung pesona citra.
Partai politik dan calon anggota legislatif ini serasa menjadikan para korban sebagai obyek tipu daya. Namun, nyatanya, masyarakat kian cerdas. Bahkan saat cobaan mendera, sekarang masyarakat pun lebih waspada agar jangan sampai menjadi batu pijakan pencitraan.
Para korban banjir di kawasan Rawajati, Jakarta Selatan, misalnya. Mereka berhati-hati setiap kali menerima bantuan. Ketua RT 03/7 Rawajati, Ngadiyono, menuturkan warga mengaku khawatir dimanfaatkan menjadi pendulang suara untuk Pemilu 2014 mendatang.
Ngadiyono mengatakan, dia akan tetap menerima bantuan dari calon anggota legislatif ataupun partai politik. Namun, ada syaratnya. Tak boleh ada identitas calon anggota legislatif maupun partai politik dalam bantuan-bantuan tersebut.
Sebuah contoh diceritakan Ngadiyono. Pada Selasa (14/1/2014), sebuah partai politik datang membawa bantuan. Posko pun didirikan untuk menyalurkan bantuan, baik obat maupun makanan. Namun, posko itu tak bertahan lebih dari satu hari karena warga sepakat menolak kehadiran posko penuh atribut partai tersebut. Posko pun dibongkar sehari setelah dipasang.
Tak hanya atribut partai dan calon anggota legislatif yang kerap ditemui di posko pengungsi. Banyak cara ditempuh para calon anggota legislatif untuk "berkampanye" di lokasi bencana. Kejadian melibatkan calon anggota legislatif dari Partai Keadilan Sejahtera, Wirianingsih, adalah salah satunya.
Wirianingsih menggunakan biskuit untuk ibu hamil dan balita yang sebenarnya adalah pemberian gratis dari Kementerian Kesehatan. Di bungkus biskuit tertempel stiker bertuliskan, "Bantuan ini diperjuangkan dan diusahakan oleh Dra Wirianingsih, MSi, Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi PKS Periode 2009-2014. Caleg DPR RI Dapil DKI 3. Cerdas-Ramah-Peduli".
Meski Wirianingsih sudah menyatakan tak tahu-menahu soal biskuit ini dan tak pernah menginstruksikan tim suksesnya menempeli stiker kampanye di bungkus biskuit milik Kemenkes, masyarakat di dunia maya sudah telanjur banyak yang membicarakannya. Mereka pun mengkritik cara Wirianingsih yang dianggap mendompleng program pemerintah.
Terkait hal itu, Lucius berpendapat ada unsur pembohongan yang dilakukan calon anggota legislatif dalam kasus biskuit Kemenkes. Modus serupa, lanjut Lucius, banyak terjadi di daerah lain yang melibatkan anggota DPR.
“Proyek dari pemerintah diklaim sebagai proyek anggota DPR. Itu kerap diungkapkan saat kampanye. Anggota DPR ingin tampil sebagai pahlawan sekalipun proyek tersebut berasal dari pemerintah,” kata Lucius.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, berpendapat, sebenarnya tidak ada manfaat bagi para calon anggota legislatif dan partai politik sibuk “berdandan” di hadapan ribuan korban bencana alam. Pasalnya, pemungutan suara masih cukup lama.
”Dari bencana ke pemungutan suara kan masih ada jarak. Apakah itu (kampanye di lokasi bencana) benar-benar tertinggal di memori mereka sebagai suatu hal yang luar biasa?” ujar Effendi.
Effendi pun meragukan efektivitas berkampanye seperti itu. Apalagi, imbuh dia, selama rentang waktu yang masih relatif lama menuju pemilu sangat mungkin ada pula manuver dari calon anggota legislatif lain di daerah yang sama.
Memaknai konstituen
Keprihatinan untuk korban bencana alam tidaklah pantas dijadikan panggung sandiwara bagi partai politik untuk mempertontonkan diri sendiri. Jika memang ikhlas membantu, untuk apa memamerkan atribut?
Di titik ini, pertanyaan mendasar dan logis pun muncul seketika, menyoal makna konstituen bagi para calon anggota legislatif dan partai politik ini. Kalau saja partai politik dan calon anggota legislatif ini memang sejak semula punya hubungan mendalam dengan konstituen, maka kocek pun seharusnya tak hanya dirogoh hanya saat ada bencana menerpa.
Pertanyaan berikutnya, sudahkah jalinan para kandidat dan konstituennya sudah diupayakan dibentuk sejak lama? Tentu, kedekatan jalinan tak diukur dari uang dan tak instan. Turun ke lapangan adalah salah satu cara, menjadikan diri dan partainya sebagai solusi persoalan bangsa adalah tahap berikutnya.
Bila bangunan jalinan kedekatan dengan konstituen hanya ada menjelang hari pemungutan suara, barangkali fenomena bencana menjadi ajang pemolesan citra masih akan terjadi lagi dan lagi di kemudian hari.
Kalau partai politik dan para wakilnya yang menjadi anggota dewan terhormat tak juga menjadi solusi bagi rakyat, maka jangan menyoal bila kemudian banyak orang menempelkan stigma partai politik dan calon anggota legislatif tak lebih dari "makhluk" oportunis.
Jangan pernah heran bila kemudian banyak kalangan, apalagi yang lahir pada era selepas reformasi, berpendapat partai politik dan kader-kadernya semata punya "peduli" saat butuh suara dan "hilang ingatan" seketika sesudah meraup kekuasaan. Mungkin ini juga seharusnya layak disebut sebagai bencana.