Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi bagai Kanker Parah

Kompas.com - 17/12/2013, 19:33 WIB

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, mendukung langkah KPK. Tindakan KPK ini dinilai sesuai dengan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi.

”Bagaimanapun, semua orang tanpa kecuali berkedudukan sama di depan hukum. Kalau memang terbukti, tidak bisa ditoleransi dan harus diproses secara hukum, sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Julian.

Kejaksaan juga diminta Presiden menjelaskan kepada masyarakat mengenai yang terjadi dan langkah mereka selanjutnya setelah penangkapan. Evaluasi internal besar-besaran diserahkan kepada internal kejaksaan.

Kepala Kejaksaan Tinggi NTB Sugeng Pudjianto langsung menunjuk I Made Sudarmawan sebagai Pelaksana Harian Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, menggantikan Subri yang sudah dinonaktifkan.

Sugeng merasa kecewa dan prihatin atas terjadinya kasus ini mengingat selama ini pihaknya selalu mengajak dan menekankan agar jajaran kejaksaan negeri di NTB bekerja maksimal mengedepankan profesionalisme, demi menjaga citra korps Adhyaksa dan aparat penegak hukum yang tengah menjadi sorotan publik.

Lipat gandakan KPK

Ahmad Syafii Maarif mengapresiasi KPK yang sudah bekerja keras memberantas korupsi. Banyak kepala daerah, sekretaris daerah, anggota DPR, dan penegak hukum yang sudah ditangkap dan sebagian sudah dipenjara.

Namun, disebabkan kejahatan korupsi masih terus berlangsung, bahkan kian meluas, dia meminta kekuatan KPK dilipatgandakan.

”Prajurit KPK harus dilipattigakan jumlahnya karena kondisi sekarang sangat tak memadai untuk menangani korupsi yang masih masif. Korupsi juga terjadi di daerah-daerah. Cari orang-orang yang punya idealisme dan integritas serta mampu bekerja dengan baik untuk memperkuat KPK,” ujarnya.

Hukum lebih berat

Untuk mengatasi kondisi ini, secara terpisah, Ketua Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Masdar F Mas’udi mendesak agar hukum ditegakkan sekeras mungkin.

Penegak hukum yang korup harus menerima hukuman lebih berat karena melakukan dua dosa sekaligus, yaitu melanggar hukum serta melanggar tugas yang harus dilaksanakannya dan mereka sudah dibayar untuk itu.

Selain vonis di pengadilan, publik juga perlu memberikan hukuman sosial kepada pejabat yang terbukti melakukan korupsi.

Menurut Masdar, banyaknya pejabat, bahkan penegak hukum, yang korup menggambarkan bahwa mereka sudah kehilangan moralitas. ”Mereka tidak punya malu. Ketika sudah ditangkap KPK atau dijatuhi vonis hukuman, mereka bahkan masih senyum-senyum. Itu pelecehan luar biasa terhadap norma moral,” katanya.

Masdar mengingatkan, ketika hukum dilanggar oleh penegak hukum sendiri, berarti juga bisa menghancurkan konsep negara. (RUL/WHY/RAZ/IAM/ATO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com