Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PKS: Vonis Luthfi Hasan Korupsi terhadap Keadilan

Kompas.com - 10/12/2013, 09:44 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dijatuhi vonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam kasus impor daging sapi. Vonis dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (9/12/2013). Ketua DPP PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, partainya menilai, ada ketidakadilan atas vonis itu. Hakim, menurutnya, tidak mempertimbangkan fakta hukum yang menyebutkan Luthfi tidak terlibat.

"Apa pun, kami sayangkan bahwa di Hari Antikorupsi, publik ditampilkan suatu korupsi terhadap kebenaran dan keadilan," ujar Ketua DPP PKS Hidayat Nur Wahid saat dihubungi Selasa (10/12/2013).

Hidayat memaparkan, hakim tidak mempertimbangkan fakta hukum soal uang yang disebut sebagai gratifikasi dari Fathanah kepada Luthfi Hasan sebesar Rp 1,3 miliar. Menurut Hidayat, Luthfi tidak menerima satu persen pun uang dari Fathanah.

Dalam persidangan, sebut Hidayat, uang Rp 1,3 miliar itu akan diberikan Fathanah kepada seseorang untuk keperluan pelunasan membayar mobil. Selain itu, Hidayat mengatakan, Fathanah juga sudah meminta maaf kepada PKS dan Luthfi Hasan. Fathanah mengaku kerap mencatut nama Luthfi Hasan.

"Ini fakta dibiarkan," kata dia.

Mantan Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat ini pun mencurigai vonis majelis hakim sudah disiapkan jauh hari tanpa mempertimbangkan pembelaan dari Luthfi Hasan. Vonis yang dibacakan kemarin, kata Hidayat, hanyalah formalitas belaka.

"Kami merasa memang ada ketidakadilan hukum. Tapi, kami apresiasi dengan hakim yang berani menegakkan keadilan hukum, dengan dissenting opinion. Kalau dari saksi ahli, TPPU yang dilakukan KPK memang kebablasan," ucap Hidayat.

Vonis 16 tahun

Dalam pembacaan vonis kemarin, Luthfi Hasan Ishaaq dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjabat anggota DPR RI 2004-2009 dan setelahnya. Dia dianggap melanggar Pasal 3 Ayat 1 huruf a,b, c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, Pasal 6 Ayat 1 huruf b dan c UU Nomor 25/2003 tentang TPPU, kemudian Pasal 3 dan Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Luthfi divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 1 tahun penjara. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Luthfi terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman melalui Ahmad Fathanah dan terbukti melakukan pencucian uang.

Uang itu diterima Luthfi ketika masih menjabat anggota Komisi I DPR RI dan Presiden PKS. Untuk tindak pidana korupsi, Luthfi dianggap melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas putusan ini, Luthfi langsung memutuskan untuk banding.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

GASPOL! Hari Ini: Eks Ajudan Prabowo Siap Tempur di Jawa Tengah

GASPOL! Hari Ini: Eks Ajudan Prabowo Siap Tempur di Jawa Tengah

Nasional
Mengintip Kecanggihan Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 yang Bersandar di Jakarta

Mengintip Kecanggihan Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 yang Bersandar di Jakarta

Nasional
Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Nasional
Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Nasional
Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Nasional
WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

Nasional
Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Nasional
Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Nasional
Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com