Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemimpin Penyelesai Masalah

Kompas.com - 08/10/2013, 16:42 WIB


Merayakan Hari Kemerdekaan Ke-68 Republik Indonesia, Desk Opini ”Kompas” bersama Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada Kamis, 12 September 2013, menyelenggarakan Diskusi Panel Seri Kedua 2013 di Bentara Budaya Jakarta.

Dengan tema ”Pemimpin yang Menyelesaikan Masalah”, diskusi menampilkan pembicara Syamsuddin Haris (peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik LIPI), Acep Iwan Saidi (Ketua Forum Studi Kebudayaan, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB), Rimawan Pradiptyo (peneliti pada Penelitian dan Pelatihan Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM), dan Luky Djuniardi Djani (peneliti pada Institute for Strategic Analysis).

Hasil diskusi dirangkum Febri Diansyah dan Donal Fariz dari LMI serta wartawan ”Kompas” Salomo Simanungkalit, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.

***

KOMPAS dan Lingkar Muda Indonesia telah melakukan diskusi dengan tema yang sangat mudah diucapkan, tetapi sungguh sulit dibayangkan. Apalagi di tengah kepemimpinan Indonesia yang tampak tidak berdaya mengeluarkan bangsa ini dari benang kusut masalah, yang dilakukan seperti memoles masalah atau menyimpan kerumitan di bawah karpet.

Pemimpin yang menyelesaikan masalah. Adakah? Bagaimana mencarinya? Atau pertanyaan yang paling mendasar, apakah sistem seleksi kepemimpinan yang tersedia saat ini memberi ruang untuk calon pemimpin muncul ke permukaan? Dan, apa sebenarnya yang menjadi masalah bangsa ini sekarang?

Hal mendasar ini hampir tidak pernah dibicarakan dalam diskursus perburuan pemimpin akhir-akhir ini. Seperti diungkapkan Luky Djuniardi Djani, apa yang disebutnya sebagai pendangkalan wacana.

Hal-hal yang dibicarakan akhir-akhir ini cenderung melompat dari aspek yang remeh-temeh, berputar dalam angka-angka survei tanpa pernah mengetahui sebenarnya yang menjadi masalah dalam seleksi kepemimpinan dan tantangan yang harus diselesaikan para pemimpin tersebut nantinya.

Ketidakpahaman ini membuat kita terjebak dalam kubangan persoalan tanpa pernah tahu secara persis problematika yang sedang dihadapi. Ia menyindir, narasi yang berkembang tidak lebih soal rakernas partai, konvensi, hingga blusukan.

Syamsuddin Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pun menarik persoalan ini jauh ke belakang. Bagaimana mungkin Indonesia akan mendapatkan pemimpin yang menyelesaikan masalah jika regulasi dan situasi politik tidak terjebak pada kelangkaan dan ”tercemarnya” partai politik sebagai otoritas tunggal yang mengatur sumber kepemimpinan?

”Jadi, walaupun parpol adalah agen utama sistem demokrasi kita, saya berpendapat bahwa membiarkan parpol yang saat ini tengah mengalami krisis kepercayaan publik sebagai satu-satunya institusi penentu dalam seleksi pemimpin barangkali sudah waktunya dikoreksi,” ujarnya. Bahkan kinerja partai politik justru adalah masalah itu sendiri.

Jika membaca UUD 1945, memang partai politik ditempatkan sebagai otoritas tunggal yang dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden serta sejumlah kewenangan lain pemilihan pejabat publik yang diberikan kepada parlemen. Akar masalah inilah yang sering luput dari pembicaraan tentang mencari pemimpin di Indonesia. Karena itulah, Kompas dan Lingkar Muda Indonesia membahasnya dalam sebuah diskusi terbuka.

Memetakan persoalan

Hal yang paling banyak disorot oleh narasumber, selain mengkritik fondasi seleksi kepemimpinan, adalah tentang mimpi Indonesia ke depan. Adakah calon pemimpin saat ini yang punya mimpi tentang Indonesia ke depan? Bukan hanya lima tahun, melainkan 30 tahun ke depan atau lebih. Hampir tak ada.

Sejumlah nama yang muncul tetap berkutat pada wacana-wacana yang tidak substansial. Kegenitan dan nuansa perebutan kekuasaan lebih menonjol ketimbang imaji tentang Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com