Inilah yang disentil dalam presentasi Rimawan Pradiptyo. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini mengurai kemelut masalah yang terjadi dan bahkan kebutaan kita memahami realitas yang tampak, tetapi tak terpahami dengan baik.
Sejumlah ketidakpastian yang dibiarkan berkonsekuensi langsung terhadap perekonomian, seperti peningkatan transactional cost. Perubahan struktural yang terjadi pasca-reformasi adalah incompatibility.
Kasus Indonesia mirip dengan yang terjadi di Inggris pascaperang saudara 1651. Jadi, Indonesia terlambat lebih dari 350 tahun. Analogi sederhana yang dapat digunakan adalah seperti mesin Colt-T 120 yang dibungkus bodi Alphard.
Pembahasan anggaran di parlemen adalah salah satu contoh yang terbalik-balik. Kekuasaan DPR yang berlebihan hingga satuan anggaran yang sangat rinci adalah bukti problematika yang bersifat struktural dalam sistem anggaran Indonesia.
Kenapa ini penting? Karena anggaran yang dibahas dengan pengetahuan dan waktu yang tidak mencukupi di parlemen akan berkonsekuensi langsung terhadap operasional negara ini setahun ke depan. Anggaran yang dimaksud adalah ABPN.
Yang diungkapkan Rimawan adalah masalah nyata yang harus diselesaikan segera oleh para pemimpin. Betapa tidak, kebocoran anggaran atau korupsi yang marak terjadi akhir-akhir ini justru dimulai dari pembahasan anggaran di DPR.
Persekongkolan antara oknum anggota DPR dari partai tertentu dan calo anggaran serta oknum kementerian/lembaga menghasilkan anggaran yang alih-alih berorientasi kepada kepentingan rakyat, tetapi justru menjadi sarana pembagian rente ekonomi. Sejumlah kasus korupsi besar yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR dari beberapa fraksi memperkuat analisis ini.
Sebutlah, penyidikan kasus Hambalang di Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjerat mantan Ketua Umum dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, pengadaan Al Quran yang menjerat anggota DPR dari Fraksi Golkar, kasus DPID dengan terpidana dari Fraksi PAN, suap dalam proyek Kementerian Pendidikan Nasional yang menjerat mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, dan kasus lainnya.
Jika masalah pembahasan anggaran ini dapat diselesaikan dengan penataan kewenangan dan pengawasan yang maksimal dalam pembahasan rancangan APBN, agaknya kita telah dapat berjalan satu langkah ke depan.
Distribusi sumber daya alam juga mendapat sorotan yang tajam. Penyebaran dan pengelolaan wilayah tambang yang ditengarai dominan dikuasai perusahaan asing merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pemimpin Indonesia ke depan.
Hal ini tentu tidak semata soal sikap antiasing, tetapi lebih dalam, ini adalah amanat konstitusi. Mirip dengan regulasi tentang pembahasan anggaran yang dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945), ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 juga memberikan perintah yang jelas kepada pemegang tampuk kekuasaan, yaitu ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Ada dua makna yang sepatutnya dipahami secara jelas oleh para pemimpin, Pertama, penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam oleh negara. Kedua, tujuan penggunaannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal ini tentulah dapat menjadi dasar yang kuat untuk melakukan redistribusi wilayah pertambangan, eksplorasi dan eksploitasi migas, serta aturan-aturan yang lebih teknis tentang pembagian kewajiban dan keuntungan yang diterima negara dalam sektor sumber daya alam ini.
Menjadi pertanyaan, apakah pengurasan terhadap hasil bumi Indonesia telah benar-benar memberikan sumbangan terhadap kemakmuran rakyat? Bagaimana para pemimpin menjelaskan fenomena kemiskinan dan pelanggaran hak asasi yang justru terjadi di sekitar kawasan tambang?
Alternatif dari kampung