Sebetulnya pemiskinan itu istilah umum, istilah sosiologis. Dari segi hukum, artinya jangan memutus minimalis. Akan tetapi, itu harus dimaknai sesuai undang-undang, khususnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 yang menyebutkan tentang uang pengganti yang sebanyak-banyaknya. Roh atau misi utama UU Pemberantasan Tipikor adalah pengembalian uang negara. Itu misi yang sebenarnya.
Pasal 18 menyebut dengan jelas. Bahasanya adalah mengganti kerugian negara sebanyak-banyaknya dari uang yang diperoleh, bukan yang dinikmati. Yang terjadi sekarang ini menyempitkan, seolah uang pengganti itu yang dinikmati oleh terdakwa saja. Itu salah. Meski uang itu diserahkan kepada istrinya, anaknya, atau kepada orang lain, harus dirampas. Saya menganut itu.
Bapak dikenal sebagai hakim tanpa ampun. Apakah pernah sekali saja membebaskan kasus korupsi?
Kalau untuk kasus korupsi, saya kira tidak pernah. Saya ini melaksanakan tugas sebagai hakim di MA untuk menyatukan dan membenarkan jika ada putusan yang pertimbangannya tidak nalar. Hal-hal seperti ini perlu dicermati. Kalau ada bias nurani dari hakim atau penegak hukum seperti jaksa, yang rugi adalah negara dan rakyat.
Saya menjatuhkan putusan berorientasi pada nilai keadilan supaya tidak banyak penduduk miskin akibat korupsi.
Apakah orientasi nilai itu bisa mengesampingkan hal-hal yang bersifat formal prosedural?
Hakim itu di dalam mengadili perkara harus menggali nilai. Jika ada UU yang tidak jelas atau menimbulkan multitafsir, hakim harus mengarah pada yang lebih tinggi, yaitu nilai. Ada tiga nilai, yaitu: kebenaran, keadilan, dan keindahan harmoni sosial. Semua nilai itu abadi.
UU itu, kan, teks. Harus dihidupkan. Jangan dijadikan benda mati ketika menafsirkannya. Dihidupkan itu artinya dibunyikan. Hukum itu, kan, selalu bergerak. Bergerak ke luar, sentrifugal, ke arah masyarakat, pada keadaan sosial ekonomi. Bergerak ke dalam, sentripetal, ke nilai.
Harus mengandung nilai-nilai tadi: kebenaran, keadilan, dan kemanfaatan untuk masyarakat. Itu harus satu kotak. Jadi, kalau membaca UU bukan seperti peti kemas kosong. Di dalam kotak hukum itu ada nilai yang harus dibongkar.
Tugas penegak hukum itu seperti membuka buah, lalu hasilnya disajikan ke masyarakat. Masyarakat, ini lho buahnya. Silakan dinikmati. (Susana Rita)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.