"Jajaran Intelijen dan Bimas harus dimaksimalkan agar Polri bisa melakukan deteksi dan antisipasi dini. Polri jangan membiarkan telur menetas menjadi naga," ujar Neta melalui pernyataan tertulisnya, Senin (1/7/2013).
IPW mencatat, sepanjang 2012 situasi kamtibmas tergolong rawan dengan adanya konflik atau kerusuhan dari Aceh hingga Papua. Mulai dari bentrok antarkampung, aparat dengan warga, antar-aparat keamanan, perkelahian pelajar, bentrokan mahasiswa, maupun ulah suporter sepak bola. Sepanjang tahun 2012 itu, 154 orang tewas dan 217 luka.
"Di tahun 2013-2014 bukan mustahil konflik ini kian meluas, jika Polri tidak segera berbenah," ujarnya.
Menurut Neta, ada enam faktor terjadinya gangguan keamanan tersebut. Krisis keamanan itu membuat kepercayaan masyarakat terhadap Polri tidak pernah terbangun. Keenam faktor itu adalah kontrol atasan sangat lemah, adanya target ambisius dari atasan, bawahan cenderung cari muka, tidak ada tolok ukur yang jelas dalam rotasi tugas, tidak ada sanksi pemecatan pada perwira tinggi bermasalah, dan gaya hidup hedonis yang makin membudaya di kepolisian.
Neta menambahkan, remunerasi yang diperoleh Polri belum maksimal membenahi sikap, perilaku, dan kinerja anggotanya. Sementara itu, jajaran elite Polri dinilai larut dengan pencitraan.
"Pin anti-KKN digunakan, tapi KKN masih tetap terjadi di segala lini di Polri. Terkuaknya kasus simulator SIM nyata-nyata tamparan bagi konsep pin anti-KKN di Polri," kata Neta.
Menurut Neta, masyarakat menginginkan Polisi dapat bersikap adil dan memberi kepastian akan kasus hukum. Jangan sampai laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti atau tidak dituntaskan. Hal itu akan menyebabkan masyarakat semakin tidak percaya dengan fungsi adanya Kepolisian RI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.