Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budaya Malu Menghilang, Korupsi Dianggap sebagai Kewajaran

Kompas.com - 30/04/2013, 02:26 WIB

Dalam buku Intelegensia Muslim dan Kuasa dan Negara Paripurna, Anda mengatakan bahwa Islam dan negara dalam menciptakan sebuah pikiran kebangsaan. Bagaimana transformasi panjang pemikiran kebangsaan yang Anda tawarkan hingga ke pelosok daerah bisa diakomodasi pemerintah sebagai pelayan masyarakat dan rakyat sebagai warga negara? (Latif Kusairi, Sleman)

Perlu ada perubahan paradigmatis dalam mengembangkan Pancasila dan wawasan kebangsaan. Pada masa lalu, hal itu dikembangkan secara vertikal: negara yang mengambil inisiatif, negara yang menafsir, dan negara yang menatar. Pancasila lantas tergelincir menjadi alat negara untuk menyingkirkan lawan-lawan politik.

Dalam terang kesadaran baru, Pancasila harus dikembalikan ke semangat dasarnya: gotong royong. Dengan begitu, pendekatannya harus bersifat horizontal, dengan melibatkan peran serta segenap komponen bangsa.

Peran negara hanyalah melakukan fasilitasi, provisi dan koordinasi, seperti dirigen yang mempertautkan segala keragaman suara menjadi koherensi yang harmonis. Pancasila harus bisa mengatasi negara dengan menempatkan aparatur negara sebagai prioritas utama pembudayaan nilai-nilai Pancasila dan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan kritik bagi masyarakat dalam menilai kebijakan negara.

Pancasila merupakan ideologi bangsa kita, tetapi bangsa kita saat ini cenderung memikirkan perutnya sendiri. Misalnya, korupsi oleh pejabat tinggi yang semakin marak. Bagaimana cara menanggulangi korupsi dan mengamalkan Pancasila lebih baik? (Muhammad Rasyid, Semarang)

Bung Karno sering bilang, seorang miskin yang kelaparan tidak bisa seketika sadar hukum hanya dengan diberikan kitab konstitusi. Orang miskin pertama-tama memerlukan nasi. Maka dari itu, sila yang paling ditekankan dalam Pancasila adalah sila keadilan sosial, yang dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan satu-satunya sila yang diungkapkan dalam kata kerja, ”mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia”.

Di dalam tampaknya ketidakadilan, persatuan, hukum, dan kebajikan sulit ditegakkan. Sungguh pun begitu, korupsi skala besar saat ini tidaklah didorong oleh kekurangan, tetapi oleh keserakahan. Budaya malu menghilang sehingga korupsi dianggap sebagai kewajaran. Pengawasan dan sanksi hukum tidak efektif.

Dalam hal ini, Pancasila menekankan semangat moral penyelenggara negara. Harus ada pemimpin karismatik yang punya ketegaran seperti ikan laut; berapa lama pun hidup di air asin, tak membuatnya menjadi asin.

Selain itu, harus ada mekanisme pemilihan alternatif yang memungkinkan orang-orang kuat dan bersih memimpin institusi-institusi pengawasan dan pemberantasan korupsi. (sie)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com