Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gede Prama SEKADAR JURU SAPU

Kompas.com - 10/03/2013, 03:32 WIB

Apakah Anda tetap memulainya dari filosofi Hindu?

Saya murid ajaran Tantra yang berpusat pada Dharmakirti. Tibet berutang budi pada Indonesia. Mereka sampai sekarang jika bertemu orang Indonesia sangat hormat. Salah seorang guru mereka, Lama Athisa, belajar kepada 100 guru. Akhirnya ia pergi ke Sriwijaya dan belajar kepada Serlingpa Dharmakirti. Lama Athisa belajar ilmu dari Sriwijaya yang kemudian bernama Bodhicitta.

Menurut Gede Prama, ajaran Bodhicitta itu berwujud dua wajah, yaitu secara relatif berwujud cinta kasih dan secara absolut berarti keheningan atau kekosongan. Di Bali, yang lebih digarisbawahi kekosongan, makanya Tuhan juga disebut Sang Hyang Embang. Tahun Baru Saka selalu didahului dengan Nyepi di mana manusia mengembalikan diri dan semesta pada kekosongan.

Tahun ini Nyepi jatuh pada 12 Maret. Untuk menyambut Tahun Baru Saka 1935, umat Hindu melakukan bratha panyepian dengan berpuasa selama 24 jam dan kembali keesokan harinya dalam suasana Tahun Baru. Harapannya, mereka lahir sebagai manusia baru yang jauh lebih baik.

Menurut Gede Prama, aspek Bodhicitta di Tibet lebih menonjol, yakni penerapan cinta kasih. ”Akar ilmunya, saya murid Tantra Tibet, relatifnya bernama cinta kasih, dan absolutnya keheningan,” tutur Gede Prama.

Anda melepaskan seluruh materi yang pernah Anda peroleh dan kemudian menjalani kehidupan spiritual. Mengapa?

Itu enteng sekali. Di India, banyak pangeran meninggalkan istana, seperti Siddharta. Saya tidak tertarik pada materi. Saya ingin menemukan sesuatu di hutan, di Tajun. Saya mengerti mengapa hutan disebut forest. Itu berasal dari for dan rest, artinya wanaprasta, tahap menjalani pertapaan. Kita istirahatkan seluruh pikiran. Ciri orang istirahat itu berkecukupan.

Sekarang banyak orang tiba-tiba merasa perlu belajar meditasi dan yoga, katanya mencari kedamaian setelah meraih kepuasan materi. Bagaimana Anda melihatnya?

Kita semua dahaga, haus sekali. Hanya saja ketika haus kita tak mencari air, malah mencari lumpur, kan sakit perut. Pemuasan terhadap dahaga itu ada di dalam diri. Orang yang terpuaskan dahaganya merasa berkecukupan, no more. Ketika kita mengatakan no more, bukan berarti rezeki kita habis, melainkan tetap mengalir.

Apakah itu soal keseimbangan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com