Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gede Prama SEKADAR JURU SAPU

Kompas.com - 10/03/2013, 03:32 WIB

Oleh Putu Fajar Arcana

Seorang tukang sapu sejati tahu esok hari daun-daun akan jatuh dan mengotori halaman. Namun, ia tak pernah berhenti karena ia juga tahu menyapu bagian dari upaya menggapai keseimbangan hidup. Bersih dan kotor, dua muka dalam sekeping logam kehidupan…. 

Kami bertemu pada sore yang teduh di tepi kali, Januari 2013 lalu. Di rumah Gede Prama (50) di Jakarta, terdapat arca Buddha yang seperti tak henti tersenyum. Lotus yang tumbuh di kanan-kiri pintu masuk rumahnya selalu berbunga. Rumah yang asri dan damai.

”Kita ngobrol di situ saja,” ujar tuan rumah. Tak berapa lama kami sudah berbincang di sebuah gazebo yang letaknya persis di tepi kali. Air kali yang keruh di musim hujan gemercik ketika melintasi gundukan tanah-tanah timbul. Sesekali terdengar suara batu beradu.

”Saya manusia bodoh. Waktu berumur 39 tahun rasanya kering sekali hidup ini. Secara materi kehidupan saya berkelimpahan, tetapi bukan itu yang saya cari,” kata Gede Prama memulai cerita.

Lelaki kelahiran Tajun, Singaraja, Bali, ini meninggalkan jabatan-jabatan mentereng di dunia bisnis dan usaha ”cuma” untuk pulang kampung. Gelar master dalam bidang bisnis dan manajemen di Inggris dan Perancis seperti tak berguna. Ia bahkan banyak dipertanyakan warga desa, jauh-jauh pergi belajar cuma untuk kembali pulang ke desa.

Mengapa Anda mengambil jalan frontal pulang ke desa setelah berbagai prestasi dalam bidang bisnis itu?

Setelah peristiwa bom Bali 2002, saya menggigil. Tak ada teman dan keluarga yang jadi korban. Saya menangis berminggu-minggu. Anak bungsu saya menjerit-jerit. Istri saya lebih takut lagi. Kami memutuskan pulang.

Alasannya?

Tak jelas, ya, pokoknya pulang. Apa yang dilakukan juga tak tahu. (Dalam suara-suara yang muncul) selalu bilang temukan guru di Bali. Waktu itu saya pikir diminta mengajar entrepreneurship. Eh, malah saya mulai memasuki penjara. Saya berbicara di depan para narapidana. Public speaking yang saya lakukan selama di Jakarta saya pakai di penjara.

Mengapa penjara?

Mungkin ini bagian dari cara saya memahami hidup. Saya merasa ada clue buat saya yang disembunyikan di penjara. Lama-lama saya merasa mulai ikut serta membersihkan pulau ini dari kekotoran setelah bom. Saya bersihkan dengan mengajarkan dharma.

Suara-suara yang didengar Gede Prama di kepalanya terus memintanya berguru. Bahkan, kemudian suara-suara itu menjelma menjadi sosok. Itulah kemudian yang mengantarkannya pergi ke India bertemu Dalai Lama pada tahun 2006. Setelah menunggu dua hari, Dalai Lama mendatanginya. ”Kami seperti sudah saling mengenal. Beliau bilang, jika harus memilih antara agama dan menyayangi orang, pilih menyayangi orang lain. Itu pesan beliau,” kata Gede Prama.

Bagaimana Anda bisa bertemu?

Lebih dari 1.500 orang hadir di Dharamshala dan semua ingin bertemu Yang Mulia Dalai Lama. Saya mungkin satusatunya orang dari Indonesia. Ketika berjalan dan melewati saya, tiba-tiba beliau berbalik dan memegang kepala saya.

Apa yang Anda cari dan temukan di penjara?

Sederhana sekali. Di penjara dan juga rumah sakit nama Tuhan paling sering dipanggil dengan penuh kesedihan. Maaf, kalau di pura atau wihara, Tuhan selalu dipanggil dengan nada gembira. Di penjara atau di rumah sakit Tuhan disebut dengan menangis. Di sini juga jadi tempat suci. Di situ saya mengerti, vibrasi baik tak hanya ada di tempat suci, tetapi juga ada di penjara dan rumah sakit.

Di penjara, mereka yang benar-benar penjahat itu kurang dari 10 persen. Lebih dari 90 persen orang-orang innocent, tidak sengaja melakukan kesalahan. Bahkan pembunuh pun membunuh karena khilaf. Misalnya, ada yang membunuh karena rumahnya ditimpukin.

Apa yang Anda bicarakan ketika di penjara?

Saya berkonsentrasi pada cinta kasih, kebajikan, dan kasih sayang. Orang baik itu seperti mulut, yang jahat ada di dubur. Kapan pun jika ada mulut harus ada dubur. Kalau mau menyapu jangan hanya mulut, dubur pun harus disapu. Jangan terlalu membenci orang jahat karena ia ada di semua zaman, sama dengan dubur yang selalu ada di setiap tubuh manusia.

Aktivitas terbesar Anda sekarang apa?

Sebenarnya yang paling saya sukai mengajar meditasi. Tahun 2013 adalah tahun keempat saya mengajar, tetapi orang yang datang sudah tak bisa dibendung.

Anda dituduh mencampuradukkan agama. Tanggapan Anda?

Sekali lagi, saya berkonsentrasi pada cinta kasih, kebajikan, dan kasih sayang. Bahasanya disesuaikan dengan tempat. Di depan kawan-kawan Islam dan Katolik pakai bahasa mereka. Kalau di Bali, mengajar ahimsa yang minimum tidak menyakiti, tetapi maksimum saling menyayangi. Sekarang ritual keagamaan digantikan praktik keagamaan, di antaranya loving, kindness, and compassion. Ini semua diputar-putar, tetapi orang seperti lapar mendengarkannya.

Agama, menurut Gede Prama, tidak bisa lagi mengandalkan ritual. Agama mana pun, jika hanya mengandalkan ritual, lambat laun akan ditinggalkan. Ia harus memberikan pengertian filosofis dan intelek apa yang ada di balik upacara. ”Begitu bicara ritual, kita akan terkotak-kotak,” katanya.

Tantra

Tahun 2009, seorang mantan biarawati Katolik, Karen Amstrong, mengumpulkan tokoh agama sedunia di Swiss. Pertemuan itu, ujar Gede Prama, mencatat intisari seluruh agama adalah compassion, belas kasih, serta tafsir agama yang membimbing setiap orang pada kekerasan dianggap tidak sah.

Berdasarkan keputusan itu dan penegasan yang diberikan Dalai Lama, kini Gede Prama bergerak menyapu halaman tak pernah henti. ”Saya harus terus menyebarkan tiga hal tadi,” ujarnya.

Anda menjadi sangat universalis kalau begitu. Setuju?

Oh, itu persoalan bahasa saja. Kalau masuk majelis taklim, saya pinjam bahasa mereka. Kalau di gereja, bahasanya cinta, di pura ahimsa.

Apakah Anda tetap memulainya dari filosofi Hindu?

Saya murid ajaran Tantra yang berpusat pada Dharmakirti. Tibet berutang budi pada Indonesia. Mereka sampai sekarang jika bertemu orang Indonesia sangat hormat. Salah seorang guru mereka, Lama Athisa, belajar kepada 100 guru. Akhirnya ia pergi ke Sriwijaya dan belajar kepada Serlingpa Dharmakirti. Lama Athisa belajar ilmu dari Sriwijaya yang kemudian bernama Bodhicitta.

Menurut Gede Prama, ajaran Bodhicitta itu berwujud dua wajah, yaitu secara relatif berwujud cinta kasih dan secara absolut berarti keheningan atau kekosongan. Di Bali, yang lebih digarisbawahi kekosongan, makanya Tuhan juga disebut Sang Hyang Embang. Tahun Baru Saka selalu didahului dengan Nyepi di mana manusia mengembalikan diri dan semesta pada kekosongan.

Tahun ini Nyepi jatuh pada 12 Maret. Untuk menyambut Tahun Baru Saka 1935, umat Hindu melakukan bratha panyepian dengan berpuasa selama 24 jam dan kembali keesokan harinya dalam suasana Tahun Baru. Harapannya, mereka lahir sebagai manusia baru yang jauh lebih baik.

Menurut Gede Prama, aspek Bodhicitta di Tibet lebih menonjol, yakni penerapan cinta kasih. ”Akar ilmunya, saya murid Tantra Tibet, relatifnya bernama cinta kasih, dan absolutnya keheningan,” tutur Gede Prama.

Anda melepaskan seluruh materi yang pernah Anda peroleh dan kemudian menjalani kehidupan spiritual. Mengapa?

Itu enteng sekali. Di India, banyak pangeran meninggalkan istana, seperti Siddharta. Saya tidak tertarik pada materi. Saya ingin menemukan sesuatu di hutan, di Tajun. Saya mengerti mengapa hutan disebut forest. Itu berasal dari for dan rest, artinya wanaprasta, tahap menjalani pertapaan. Kita istirahatkan seluruh pikiran. Ciri orang istirahat itu berkecukupan.

Sekarang banyak orang tiba-tiba merasa perlu belajar meditasi dan yoga, katanya mencari kedamaian setelah meraih kepuasan materi. Bagaimana Anda melihatnya?

Kita semua dahaga, haus sekali. Hanya saja ketika haus kita tak mencari air, malah mencari lumpur, kan sakit perut. Pemuasan terhadap dahaga itu ada di dalam diri. Orang yang terpuaskan dahaganya merasa berkecukupan, no more. Ketika kita mengatakan no more, bukan berarti rezeki kita habis, melainkan tetap mengalir.

Apakah itu soal keseimbangan?

Itu soal rasa yang seimbang. Lebih dekat pada kepuasan diri. Bukan hadiah. Lebih pada keberanian untuk memutuskan.

Saat ini agama masih dianggap sumber moralitas, tetapi kalau terlalu fanatik malah melahirkan radikalisme. Menurut Anda?

Di setiap zaman selalu ada ekstrem kiri, itu ateisme. Yang saya ajarkan bukan agama, melainkan spiritualisme. Ini jalan yang membebaskan diri dari penderitaan. Nah, kalau kelompok kanan, itu agamais. Ada teman yang tidak rela agama-agama dicampurbaurkan. Saya selalu minta maaf karena meminjam bahasa mereka untuk membahas compassion.

Di zaman modern, kaum urban banyak yang di tengah-tengah, tidak ke kanan tidak ke kiri. Jumlahnya makin banyak di kota. Sekali lagi saya tidak mengajarkan agama, tetapi filsafat kehidupan, pembebasan dari penderitaan. Buddhisme bukan agama, melainkan mengajarkan cinta kasih.

Menurut Anda, bagaimana agama menjawab ilmu pengetahuan?

Ada alat pengukur canggih yang diterapkan kepada para yogi di Tibet. Terbukti orang yang sering meditasi mengalami peningkatan aspek neural pada otak sampai 800 persen. Pada posisi ini otak kembali pada home static, keseimbangan, di mana kekebalan tubuh kita sempurna, bisa sembuhkan segala penyakit.

Inilah yang membantu kita untuk memahami bagaimana agama harus menyerap teknologi. Yang Mulia Dalai Lama memerintahkan kepada murid-muridnya kapan saja ilmu pengetahuan bisa membuktikan bahwa buku suci Buddhisme itu salah, kita harus ikuti ilmu pengetahuan, tinggalkan agama.

Kecenderungan orang yang belajar meditasi kepada Anda apakah ingin menjawab soal pencarian kebahagiaan itu?

Sama seperti ke dokter, tidak semua pasien tersembuhkan. Ada sebagian kerinduan terjawab, ada yang tidak. Ada sebagian orang yang window shopping, lihat-lihat saja, akhirnya habis waktu. Gimmick belajar spiritual itu happiness, kebahagiaan. Namun, tujuan akhirnya well being, berkecukupan.

Apakah kebahagiaan itu sesuatu yang berkembang?

Ada beberapa tingkatan kebahagiaan, yang terendah itu bahagia karena keinginan terpenuhi. Itu sebentar. Naik gaji, punya mobil, itu sifatnya sebentar. Kebahagiaan yang lebih dalam tatkala kita merasa berkecukupan. Kebahagiaan tertinggi jika kita mulai memasuki alam kesempurnaan. Nah, kebanyakan orang mencari kebahagiaan di tingkat dasar. Padahal keinginan itu terus bergerak.

Sekarang banyak kasus korupsi. Banyak orang terjebak pada kuasa dunia materi. Bagaimana Anda melihatnya?

Kembali pada cerita mulut dan dubur tadi. Setiap orang, keluarga, selalu punya mulut dan dubur. Di negara kita banyak koruptor, pendekatannya seperti menyapu, jangan dibenci. Jangan menjauh dari yang keras karena tak akan ada yang meluruskan. Tugas tukang sapu seperti saya meski besok daun kering jatuh lagi, bukan berarti tidak menyapu lagi.

Dalam sesi-sesi meditasi yang diselenggarakan, baik di Bali maupun Jakarta, Gede Prama tidak pernah meminta bayaran. ”Kalau ada sumbangan, saya serahkan ke pura atau wihara. Sedikit pun saya tidak bersedia menerimanya. Saya tidak mau kehilangan kekayaan saya, yakni kerendahan hati,” katanya.

Pada akhir wawancara Gede Prama berpesan, ”Hati-hati menerima dan memberi uang. Banyak orang kaya yang tidak tahu telah merusak orang suci.” Kini sore benar-benar jadi petang, tetapi Sang Buddha di halaman samping rumah Gede Prama masih tersenyum seperti mekarnya bunga-bunga lotus….

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com