JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta batal membacakan putusan atas perkara kasus dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, Kamis (7/3/2013). Putusan ini batal dibacakan karena Neneng sakit dan masih dirawat di Rumah Sakit Kepolisian RI, Kramat Jati, Jakarta Timur.
“Kami tidak dapat menghadirkan terdakwa Neneng ke persidangan karena sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Dia mengidap diare akut,” kata Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Rini Triningsih, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Karena Neneng tidak dapat dihadirkan dalam persidangan, majelis hakim yang diketuai Tati Hadianti pun memberhentikan sidang sementara untuk bermusyawarah. Setelah bermusyawarah selama beberapa menit, majelis hakim memutuskan untuk membantarkan masa penahanan Neneng. Pembantaran akan dilakukan hingga Neneng keluar dari rumah sakit.
“Karena terdakwa di rumah sakit, maka supaya hal tersebut bisa dilaksanakan edngan baik dan perawatan dengan baik dan tidak mengurangi masa penahanan, maka majelis hakim mengeluarkan surat penetapan pembantaran,” kata hakim Tati.
Majelis hakim Tipikor juga memerintahkan tim jaksa KPK untuk mengembalikan Neneng ke rutan begitu dia sembuh dan bisa keluar rumah sakit. Selanjutnya, hakim kembali menjadwalkan sidang pembacaan vonis Neneng pada 14 Maret 2013 pekan depan.
Dituntut tujuh tahun
Tim jaksa penuntut umum KPK, dalam persidangan sebelumnya, menuntut agar Neneng dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan. Neneng dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait proyek pengadaan PLTS di Kemennakertrans 2008.
Selain hukuman penjara dan denda, Neneng juga dituntut membayar uang pengganti senilai keuntungan yang diterimanya dari korupsi PLTS, yakni Rp 2,66 miliar. Menurut jaksa, Neneng melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama terkait PLTS sejak proyek itu masih dalam tahap perencanaan.
Nazaruddin, kata jaksa, memberikan uang 50.000 dollar AS kepada pejabat Kemennakertrans untuk memengaruhi pejabat agar memenangkan Neneng dalam proyek PLTS. Kemudian Neneng meminjam bendera PT Alfindo Nuratama melalui Marisi Martondang (Direktur Administrasi PT Anugerah Nusantara) dan Mindo Rosalina Manulang (Direktur Marketing PT Anugerah Nusantara) mengikuti proses tender tersebut.
Mereka pun bersepakat dengan Timas Ginting (pejabat pembuat komitmen) untuk mengubah hasil komponen pengujian produk PT Alfindo sehingga memenuhi persyaratan teknis dan ditetapkan sebagai pemenang.
Setelah PT Alfindo ditetapkan sebagai pemenang tender dan menerima pembayaran dari Kemennakertrans, Neneng menguasai rekening perusahaan pinjaman tersebut. Dalam pelaksanaan proyek, menurut jaksa, Neneng mengalihkan pengerjaan utama proyek PLTS ke PT Sundaya Indonesia dengan sepakat memberikan fee kepada Direktur Utama PT Alfindo Nuratama, Arifin Ahmad.
Pengalihan pekerjaan utama kepada PT Sundaya Indonesia ini dianggap melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Perbuatan Neneng ini juga dianggap merugikan keuangan negara senilai Rp 2,7 miliar. Setelah PT Alfindo menerima pembayaran proyek PLTS Rp 8 miliar, Neneng memerintahkan anak buahnya, Yulianis, untuk membayarkan uang Rp 5,2 miliar ke PT Sundaya Indonesia.
Sementara, Neneng, dalam pledoi atau nota pembelaannya membantah semua tuduhan jaksa. Dia mengaku hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang tidak tahu-menahu urusan Anugerah Nusantara, perusahaan suaminya. Neneng juga mengaku menyesal tidak segera pulang ke Indonesia setelah ditetapkan sebagai tersangka KPK. Neneng memilih buron dan tinggal di Malaysia hingga akhirnya tertangkap di kediamannya di Pejaten, Jakarta Selatan, tahun lalu.
Berita terkait dapat diikuti dalam topik:
Neneng dan Dugaan Korupsi PLTS