BANTEN, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dinilai membuat tidak nyaman sejumlah elite parpol, terutama yang berjasa mengantarkan Jokowi menjadi orang nomor satu di Jakarta, salah satunya Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Kini, popularitas dan elektabilitas Jokowi sudah melampaui mereka.
Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, Jokowi pada lima bulan lalu bukan siapa-siapa. Namun, dengan waktu relatif singkat, Jokowi kemudian muncul sebagai calon presiden alternatif di urutan teratas pada Desember 2012.
Survei yang dilakukan Lembaga Survei Jakarta (LSJ), Selasa (19/2/2013), menghasilkan elektabilitas Jokowi lebih besar dari Prabowo Subianto, Wiranto, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan Megawati Soekarnoputri. Dari 13 tokoh nasional, elektabilitas Jokowi paling tinggi, mencapai 18,1 persen. Angka itu lebih tinggi daripada elektabilitas Prabowo Subianto (10,9 persen), Wiranto (9,8), Jusuf Kalla (8,9), Aburizal Bakrie (8,7), dan Megawati (7,2) (baca: Lagi-lagi Jokowi Juaranya).
"Jadi, secara tidak langsung, Jokowi sudah seperti anak macan yang menggigit induknya sendiri. Dia tampil dalam waktu singkat, tapi mampu mengalahkan orang-orang yang sebelumnya berjasa membawanya dari Solo ke Jakarta," kata Burhanuddin di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (21/2/2013).
Meski demikian, tambah Burhanuddin, elektabilitas Jokowi sebagai capres belum cukup menonjol. Berdasarkan hasil survei, dari 82 persen responden yang mengenal Jokowi, kata dia, hanya sekitar 20 persen yang akan memilih Jokowi jika maju dalam pilpres.
"Artinya tidak cukup efisien. Meskipun dibanding calon lain, dia tetap tertinggi," katanya.
Masalah lain, lanjut dia, tidak etis jika PDI-P memutuskan mengusung Jokowi di Pilpres 2014. Pasalnya, Jokowi sudah tak menyelesaikan mandat sebagai Wali Kota Surakarta ketika maju dalam Pilkada DKI Jakarta.
"Ketika sekarang menjadi Gubernur hingga 2017, kalau dia ikut arus maju di Pilpres 2014, secara etika tidak tepat. Tapi, tergantung kalau PDI-P dan saat bersamaan masyarakat memandang bahwa dia figur yang paling tepat, apa mau dikata," kata Burhanuddin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.